Wednesday, September 22, 2021

Teori Media dan Teori Sosial

Redemptus Kristiawan/2106682685

 

Pertanyaan Penelitian: Bagaimana teori media dan teori sosial bisa menjelaskan fenomena digitalisasi?

 

Digitalisasi media memberikan tantangan serius dalam hubungannya dengan kajian media. Perubahan-perubahan penting terjadi dalam digitalisasi misalnya terkait proses produksi pesan, siapa saja yang bisa membuat pesan, struktur organisasi media, hubungan industrial, dan lain-lain. Beberapa perubahan itu bahkan bersifat disruptif. Tulisan ini ingin melihat sejauh mana teori media dan teori sosial mampu menjelaskan digitalisasi media beserta tantangannya.

 

Baik Couldry (2012) maupun David Hesmondhalgh & Jason Toynbee (2008) sama-sama membahas masalah keterkaitan teori media dan teori sosial dengan menekankan pada tantangan aktualnya.  Couldry mencatat setidaknya ada dua kesalahan dalam membahas hubungan antara media, masyarakat, dan dunia yaitu kepentigan pasar yang terlalu mendominasi proses produksi media dan dominasi tokoh teknologi media yang menjadi komentator di media. Couldry ingin bahwa kehidupan sosial menjadi pertimbangan utama dengan membedakannya dengan infrastruktur sosial (p.viii-ix).  Untuk itu diperlukan bantuan dari teori sosial untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai relasi media dan masyarakat serta dunia.  Dalam hubungannya dengan digitalisasi, hubungan teori media dan teori sosial menjadi menarik karena digitalisasi sebenarnya masih diliputi oleh ketidakpastian. Makalah ini berargumen bahwa kerjasama antara teori media dan teori sosial bisa menjadi modal penting dalam menjelaskan digitalisasi.

 

Couldry menyebut ada empat pendekatan media yaitu ekonomi politik media, teori medum, kajian media/textual analysis, dan teori media yang berorientasi sosial.  Pendekatan ekonomi politik melihat media dari aspek struktur ekonomi yang ada di  baliknya misalnya faktor kepemilikan, hubungan industrial, dan relasi-relasi yang memunculkan ketidaksetaraan. Saat ini, textual analysis dinilai mendominasi kajian komunikasi misalnya lewat cultural studies dan berbagai studi misalnya film dan televisi. Teori medium melihat media dalam aspek proses pengiriman pesan dan penerimaannya. Couldry sendiri merekomendasikan untuk lebih melihat pada aspek teori media yang berorietasi sosial yang menekankan keterlibatan media dalam kehidupan sosial dimana teori-teori berbagai disiplin ilmu sosial diperlukan. Di situ pula Couldry melihat relevansi pemikir-pemikir penting ilmu sosial seperti Bourdieu utamanya dari aspek arena produksi kultural, sosiolog Jerman Norbert Elia, Durkheim, dan lain-lain.

 

Couldry sangat berhati-hati saat membahas digitalisasi. Dia tidak mau terburu-buru membuat proposisi-proposisi baru dan lebih menekankan aspek ketidakpastian dalam proses digitalisasi. Couldry menawarkan beberapa pertanyaan untuk membahas ketidakpastian itu yaitu, apa dan siapa itu media; apa yang kita kerjakan dengan media; apakah media masih realistis sebagai kegiatan ekonomi; apa saja proses perubahan media dalam aspek sosial politik; dalam skala apa media berdampak; dan apakah kehidupan akan lebih baik dengan media.

 

Berbeda dengan Couldry, saya berargumen bahwa meskipun digitalisasi memberikan beragam ketidakpastian, namun teori-teori sosial yang ada – walaupun tidak semua -  bisa menjelaskan fenomena terkait digitalisasi misalnya soal hoaks dan post-truth yang bisa dijelaskan melalui simulacrum Baudrillard atau munculnya masyarakat jaringan yang dibahas oleh Castells. Model bisnis media digital juga sudah dibahas oleh  ahli misalnya Nobuko Kawashima (2020). Yang diperlukan adalah eksplorasi lebih mendalam dari para pemikir sosial yang ada dan melihat berbagai isu dalam keterkaitannya dengan media digital.

 

******

 

Persoalan pentingnya mengeksplorasi teori sosial secara lebih mendalam juga disampaikan oleh editor Hesmondhalgh & Toynbee (2008). Media perlu secara lebih serius mendalami teori-teori sosial. Mereka mengajukan dua tantangan yaitu apakah fase sejarah baru saat ini menghasilkan hubungan sosial yang baru, dan perlunya mendalami lagi para pemikir besar seperti Habermas, Bourdieu, Castells, Hall, Giddens, dll. terutama dengan menggali lebih dalam konsep-konsep mereka dan tidak terfokus hanya pada satu dua konsep mereka yang terkenal (hal. 1).

 

Menurut Hesmondhalgh & Toynbee, pentingnya teori adalah bahwa teori mampu menjelaskan pengalaman dan ide terkait dunia sosial secara lebih sistematis daripada wacana biasa sehari-hari (hal. 2). Teori bisa dibentuk dari pengolahan ide yang sudah ada dan bisa juga melalui proses induktif yang tumbuh dari bawah. Tiap disiplin ilmu tentu akan berbeda dalam mendefinisikan masalah teori-teori sosial, misalnya perbedaan empirisme dan konstruksionisme. Kedua editor menunjukkan cara untuk mempebaharui teori sosial sehingga dapat bergerak maju dari sekarang dan bisa diadopsi oleh teori media (hal. 4-5). Keduanya juga mengritik apa yang mereka sebut sebagai parokialisme dan media sentrisme. Parokialisme adalah gejala di mana kajian-kajian media menjadi tertutup dan mengangggap bahwa merekalah yang paling tepat menjelaskan masalah media. Keduanya mengambil contoh parokialisme antara studi ekonomi politik dan cultural studies yang terus berseteru.  Ini ironis karena keduanya berakar dari marxisme dengan beberapa revisi. Ekonomi politik berfokus pada media dalam konteks kapitalisme kontemporer sementara cultural studies banyak membahas soal idelologi dan representasi.

 

Parokialiasme menjadi tidak produktif karena dinamika media dan masyarakat jauh lebih kompleks daripada dua teori itu, seperti yang disampaikan oleh Raymond Williams (1962). Pertanyaan Williams sekilas sederhana namun sebenarnya hendak menggambarka hubungan yang rumit antara media dan masyarakat. Dia mempertanyakan bagaimana posisi media dalam masyarakat, bagaimana masyarakat memengaruhi media, dan bagaimana relasi keduanya terbentuk.

 

Hesmondhalgh & Toynbee merekomendasikan dua hal yang bisa diambil teori media dari teori sosial yaitu kebutuhan untuk mencari akar filosofis lebih kuat untuk menjawab pertanyaan normative dan konsep kausalitas, apa yang penting yang ingin kita ketahui dari masyarakat, mengapa hal itu terjadi. Kajian media seharusnya menjadi arena refleksi dari masalah sosial yang ada.

 

Penutup

Saya melihat benang merah antara fenomena perubahan terkait dengan digitalisasi dengan apa yang disampaikan oleh Couldry dan Hesmondhalgh & Toynbee. Ketiga pemikir ini melihat perlunya mengeksplorasi teori-teori sosial secara lebih mendalam untuk berkontribusi pada teori media. Ini mengindikasikan adanya kondisi yang belum mapan dalam hal bagaimana seharusnya teori media berdinamika dengan teori sosial. Hesmondhalgh & Toynbee. Secara tajam mengritik belum maksimalnya eksplorasi terhadap pemikir-pemikir raksasa dalam ilmu sosial seperti Habermas, Bordieu, Castells, dan lain-lain.

 

Jika tantangan itu terkait media analog, maka bisa dibayangkan betapa kompleksnya kebutuhan teoritik untuk menjelaskan media digital. Kompleksitas digitalisasi itu menurut saya menuntut dua hal sekaligus yaitu lebih mendalami teori-teori yang ada dan membahasnya dalam kontek digitalisasi dan mengembangkan teori-teori baru dengan mengikuti secara intensif proses digitalisasi yang ada. Masalah digitalisasi yang ada saat ini kecepatan perubahan yang sangat tinggi yang jika tidak diikuti oleh telaah teoritik yang juga cepat, maka teori-teori media digital akan ketinggalan.

 

 

Referensi

Couldry, Nick (2012) Media, Society, World: Social Theory and Digital Media    Practice. Cambridge: Polity Press

 

Hesmondhalgh, David & Toynbee, Jason. eds. (2008) The Media and Social Theory. Oxon: Routledge

Kawashima, Nobuko, Changing Business Models in the Media Industries  (2020), Doshisha University

 

 

 


No comments: