Wednesday, October 06, 2021

SAP 6: Teori Media dan Industri

Redemptus Kristiawan/2106682685

 

Pertanyaan penelitian: Bagaimana menjelaskan kondisi perlindungan terhadap jurnalis dalam sistem pers bebas di Indonesia?

 

Rapporteur sans Frontièr (RSF/Jurnalis Lintas Batas), sebuah lembaga nirlaba di Paris, setiap tahun mengeluarkan indeks kebebebasan pers seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2021, Indonesia berada di ranking 113 dari 179 negara.[1] Indonesia pernah menjadi negara dengan kebebasan pers terbaik se-Asia pada tahun 2001, namun setelah itu selalu berada pada posisi yang tidak bagus.  Fokus indexing RSF ada pada aspek keamanan jurnalis saat meliput. Indexing oleh RSF tersebut tidak terlalu mengherankan jika dibandingkan dengan data kekerasan terhadap jurnalis Indonesia yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Independen dan LBH Pers. AJI mencatat sepanjang tahun 2021 ada 25 kasus kekerasan yang dilaporkan dengan berbagai sebab dan aktor pelaku. [2]

 

Data di atas jika ditarik lebih dalam akan menarik terutama jika dihubungkan dengan proses demokratisasi media yang berlangsung sejak 1999. Pertanyaan mendasarnya adalah siapa saja yang diuntungkan secara ekonomi politik dalam proses demokratisasi itu. Tulisan ini berargumen bahwa proses demokratisasi media yang secara normatif tampak indah itu sebenarnya lebih banyak menguntungkan imperatif bisnis daripada aspek perlindungan terhadap jurnalis dan jaminan hak-hak jurnalis. Ada sebuah paradoks karena proses demokratisasi media itu pada awalnya dimotori oleh jurnalis yang juga bertindak sebagai aktivis, namun pada akhirnya proses itu tidak berpihak pada mereka.

 

Setelah kasus pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik pada tahun 1994 akibat pemberitaan tentang pembelian kapal perang bekas Jerman Timur, para jurnalis melakukan konsolidasi untuk melawan Orde Baru. Aliansi Jurnalis Independen dideklarasikan dan terbit majalah bawah tanah Independen. Perjuangan itu berhasil lewat disahkannya UU Pers No. 40/1999 yang memenuhi standar demokrasi global.

 

Segera setelah disahkannya UU Pers, terjadi booming bisnis pers cetak karena penghapusan mekanisme SIUPP. Pada tahun 2001, tercatat ada 1.659 perusahaan pers yang terdata di Dewan Pers.[3] Profesi jurnalis pun menjadi profesi yang seolah terbuka bagi siapa saja tanpa persyaratan yang memadai. Di sini kita mengenal fenomena wartawan bodrex yang tidak berkualitas dan korup.

 

Ada sejumlah indikator paradoks kebebasan pers di Indonesia antara lain, masih minimnya jaminan keamanan pada jurnalis, tingkat pendapatan jurnalis yang masih rendah, dan kebebasan berserikat yang belum dijamin perusahaan pers. Sementara belanja iklan nasional terus saja naik mencapai Rp 122 triliun di tahun 2020 (Nielsen, 2020). Pada aspek keamanan jelas masih ada kasus pembunuhan terhadap jurnalis dan berbagai kekerasan lain baik fisik maupun simbolik. Dari sisi pendapatan, tingkat gaji reporter pada tahun 2006 antara Rp 200.000,- sampai dengan Rp 2.600.000,-. Kebebasan mendirikan serikat pekerja pers juga masih terbatas pada angka 35 perusahaan. (Kristiawan, R., 2012).

 

Dalam aspek keamanan bagi jurnalis, yang tidak maksimal dijalankan oleh Indonesia adalah mekanisme struktural di mana negara benar-benar berkomitmen terhadap keamanan bagi jurnalis. Memang ada sistem pelaporan kasus di Dewan Pers. Akan tetapi proses itu belum berjalan maksimal. Advokasi terhadap kasus terkait keamanan dan kekerasan masih mengandalkan aktor masyarakat sipil. (International Media Support, 2017).

 

David Hasmondalgh berpendapat bahwa isu media work menjadi isu yang kurang diperhatikan jika dibandingkan dengan isu organisasi dan kepemilikan. Kondisi ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia pada aspek keamanan terhadap jurnalis. Advokasi isu keamanan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan isu profesionaisme, etika jurnalistik, dan pelaporan isu-isu sektoral. Inisiasi program keamanan bagi jurnalis di Indonesia baru dilakukan April 2019 melalui pendirikan Komite Keamanan untuk Jurnalis.

 

David Hesmondalgh mengutip penelitian Gillian Ursell tentang hasil riset pekerja televisi.

 

Research on television workers, for example, applied Foucauldian insights to work in the creative or cultural industries, showing how ‘pleasure, self-expression, self-enterprise and self-actualisation ... seem to be at the heart of explanations of why people want to work in the media’ (Ursell, 2006, p. 161; see also Ursell, 2000).

 

Kondisi di atas mirip dengan apa yang terjadi industri televisi di Indonesia pada awal 2000-an ketika terjadi pertumbuhan minat untuk berkarir di industri televisi. Akan tetapi fenomena itu sebenarnya tidak mencerminkan realitas ekonomi para pekerja televisi itu karena tingkat pendapatan yang kurang memadai terutama di level pemula, apalagi jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi para pekerja pers cetak dan digital. Ada proses lebih besar sedang terjadi yaitu ekspansi kapitalisme global yang berkepentingan pada perluasan cakupan belanja iklan global yang juga mencerminkan ketimpangan antar negara.

 

McChesney mencatat bahwa iklan merupakan proses sentral di balik perluasan program media dan kepemilikan media. Pertumbuhan bisnis penyiaran dan iklan merupakan bagian integral dari perluasan pasar global. Pada tahun 1995, empat puluh perusahaan iklan terbesar di dunia yang berada di Eropa Barat, Jepang, dan Amerika Serikat membelanjakan 47 miliar US$ dimana 26 miliar US$ dibelanjakan di luar Amerika Serikat. Jumlah ini meningkat 20% dari belanja iklan tahun 1994. Pada tahun 1970, persentase iklan Amerika adalah 60% sedangkan pada tahun 1995 47%. Artinya, telah terjadi perluasan kue iklan di luar belanja iklan Amerika Serikat. McCann-Erickson memperkirakan bahwa iklan global akan naik dari 335 milar US$ pada tahun 1995 menjadi 2 triliun US$ pada tahun 2020. Asia, Amerika Latin, dan Eropa Timur merupakan kawasan pertumbuhan belanja iklan, sementara Amerika Utara akan mengalami stagnansi. Kebanyakan pertumbuhan itu mengandalkan media televisi, sementara koran dan majalah akan mengalami penurunan persentase. (McChesney, 1997, dalam Kristiawan, R., 2012). Dalam digitalisasi media, proses yang sama juga sedang berjalan.

Paradoks yang saya sampaikan ada pada ketimpangan antara pertumbuhan industri media dengan perlindungan terhadap jurnalis. Proses demokratisasi media – yang pada intinya adalah liberalisasi – yang pada awalnya diawali oleh para jurnalis dibajak di tengah jalan oleh industri media melalui pembatasan hak-hak jurnalis terkait hak berserikat, rendahnya indeks kebebasan pers di Indonesia, tingkat kesejahteraan jurnalis yang rendah yang memicu fenomena wartawan bodrex, masih adanya kasus kekerasan terhadap jurnalis yang salah satu sebabnya adalah rendahnya pembakalan teknis oleh perusahaan media. Sementara itu, belanja iklan terus naik tanpa mempedulikan kondisi-kondisi jurnalistik dan jurnalisme.

Dalam proses demokratisasi media itu terjadi proses konsolidasi industri yang pada ujungnya adalah akomodasi structural adjustment kapitalisme global pada sistem industri media nasional. Dalam beberapa kasus kita menjumpai juga situasi dimana sistem media nasional tidak sesuai dengan kaidah demokrasi, misalnya dalam kasus dominasi kepemilikan media penyiaran analog. Jadi dalam proses ekonomi politik industri media sampai saat ini, imperatif bisnis terbukti menjadi pemenang jika dibandingkan dengan jurnalis dan jurnalisme.

 

Referensi

Hesmondalgh, David, Media Industry Studies, Media Production Studies

Herman, Edward S., McChesney, Robert,.  (1997) The Global Media, The New Missionaries of Corporate Capitalism, Cassel, London&Washington

International Media Support (2017), Defending Journalism, Copenhagen

Jessop, Bob., Sum, Ngai-Ling (2013), Towards a Cultural Political Economy Putting Culture in its Place in Political Economy, Massachusetts

Kristiawan, R., (2012), Penumpang Gelap Demokrasi, Aliansi Jurnalis Independen, Jakarta

 



[1] https://rsf.org/en/ranking

[2] https://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1.html

[3] https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers


Wednesday, September 29, 2021

Teori Media dan Konsumsi 

Redemptus Kristiawan/2106682685

 

Pertanyaan penelitian: Bagaimana iklan membentuk practice berupa konsumsi simbolik?

 

Iklan adalah salah satu bentuk strategi komunikasi untuk membujuk konsumen agar mengonsumsi produk. Pada awalnya, konsumsi terhadap produk besifat material, dalam arti bahwa konsumen mengonsumsi produk karena kualitas material produk tersebut. Akan tetapi, perilaku konsumsi kemudian bergeser menjadi bersifat kultural dan kemudian simbolik yang berhubungan dengan citra dan identitas sosial serta konfirmasi atas keanggotan kelas dan kelompk sosial (Warde, 2014).  Sejak akhir 1960-an, ilmu sosial yang membahas konsumsi membagi fase perkembangan konsumsi ke dalam tiga tahap dengan fokus yang distingtif. Tekananannya ada pada perubahan tiga dimensi konsumsi yaitu akuisisi, apresiasi, dan appropriasi (Warde, 2010, dalam Warde, 2014, hal. 281).

 

Meskipun ada proses digitalisasi, media konvensional seperti televisi masih mendominasi perebutan kue iklan di Indonesia. Saat ini, menurut Nielsen, televisi masih menguasai 86% belanja iklan, meskipun belanja iklan di media digital terus naik. Gejala ini sama dengan yang terjadi di India dimana radio dan televisi masih menjadi media utama dalam belanja iklan karena kemampuan menjangkau ke khalayak (Farooq & Latif, 2011; Fill, 2009, dalam Ramzan Sama, Journal of Creative Communications, 2019) .

 

Perubahan pola konsumsi menjadi lebih simbolik berhubungan erat dengan gaya hidup dan penegasan individu sebagai bagian dari kelas sosial atau kelompok sosial. Konsumen minum kopi di kedai Starbuck bukan hanya karena ingin minum kopi tetapi karena tindakan itu menegaskan dirinya sebagai bagian dari komunitas global. Logika yang saya juga terjadi pada konsumsi pada tas mewah misalnya. Konsumsi menegaskan seseorang sebagai bagian dari kelas dan kelompok sosial tertentu yang membedakan diringan dengan orang lain.

 

Saya berargumen bahwa dalam proses itu, iklan sangat berperan dalam produksi citra produk yang berhubungan dengan identitas kelas dan kelompok. Iklan bekerja melalui rekayasa simbolik dan simulasi yang bisa memberi makna tak terbatas pada suatu produk. Ambil contoh misalnya iklan Indomie edisi pilot. Indomie dicitrakan sebagai produk yang dikonsumsi pilot sebagai wakil dari kelas menengah. Padahal secara riil, Indomie lebih banyak dikonsumsi kelompok C dan D.

 

Hal yang sama juga terjadi di iklan politik dimana kontestan sering menampilkan dirinya tanpa perlu berhubungan riil dengan realitas kesehariannya, misalnya adegan Wiranto makan nasi aking untuk merepresentasikan dirinya secara simbolik sebagai bagian dari kelas bawah, atau kontestan perempuan yang tiba-tiba berjilbab pada sebelumnya tidak pernah.

 

Perihal simulasi yang membahas hubungan realitas dan produksi simbol ini dibahas oleh Baudrillard (1981). Salah satu poin penting dalam simulasi adalah bahwa tidak selalu ada hubungan logis antara realitas dengan produksi simbol.

 

Dari Ekonomisme ke Theories of Practice

Dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement  of  Taste (1984), Pierre Bourdieu membuat riset terhadap 1.217 responden tentang preferensi mereka terhadap karya musik, film, teater, bahasa, dan literatur. Hasil dari penelitian itu adalah bahwa selera tidak bersifat netral dan individual, tetapi berhubungan dengan konfirmasi individu sebagai anggota dari kelas dan kelompok sosial tertentu yang berbeda dengan kelas dan kelompok sosial lainnya. Dalam musik misalnya, seseorang menonton opera bukan semata karena suka pada musik tersebut tetapi karena dengan menonton opera keanggotaannya sebagai komunitas penikmat high culture terkonfirmasi. Gejala yang sama juga terjadi pada perilaku menikmati produk kesenian lainnya. Ada juga fenomena ketika secara ekonomi seseorang tidak mampu mengonsumsi barang dan jasa yang lalu mengonsumsi barang-barang palsu. Gejala ini disebut life-styling.

 

Tahap pertama kajian tentang konsumsi berfokus pada sistem ekonomi dalam masa produksi dan konsumsi massa. Secara ekonomi politik, karakternya bersifat ekonomistik dimana konsumsi dianggap sub-ordinat dari produksi. Konsumsi dianggap dari konsekuensi logis dari proses produksi massal. Fenomena kultural, misalnya selera, ditentukan oleh kontrol aparatus industri, misalnya iklan, dan merupakan produk sampingan dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Debat berpusat pada relasi antara kebutuhan dan keinginan dan keadilan distribusi akses barang dan jasa di masyarakat. Ketidakadilan terjadi ketika distribusi barang dan jasa hanya berputar pada kelas dominan saja. Konsumsi dianggap sebagai pilihan pribadi yang independen.

 

Perkembangan terjadi pada era 1970-an dalam ilmu sosial dan kemanusiaan. Kritik terhadap cara berpikir ekonomistik menggeser aspek instrumental dari konsumsi material ke dimensi simbolik, dan terutama kemampuannya  terkait dengan komunikasi. Sarana komunikasi termasuk iklan dianggap sebagai media penting dalam produksi kultural dalam konsumsi.

 

Munculnya cultural studies juga merupakan salah satu menifestasi dari gejala tersebut yang memberikan stimuli bagi kajian sosiologi konsumsi di Eropa. Barang dan jasa yang diproduksi massal tidak hanya memberikan kenyamanan dan hiburan, tetapi juga memperluas pengalaman kultural, menyediakan bahan bagi perkembangan dan ekspresi pribadi, dan memperkokoh relasi sosial. Makna konsumsi bergeser dari kecemasan menuju selebrasi (Warde, 2014, hal. 280-282).

 

Practice theories  memperbaiki bias analisis kultural yang hegemonik pada era kedua dalam kajian konsumsi. Teori practice kelihatan menjanjikan bagi studi konsumsi karena menjanjikan koreksi ganda atas kajian sebelumnya, dengan memberikan framing alternatif bagi model pilihan individual, baik yang berbasis pada kedaulatan dan ekspresi individual, dan kedua dengan membuka dan mengeksplorasi fenomena yang biasanya dibahas di analisis kultural dengan lebih mendalam (Warde, 2014, hal. 286).

 

Munculnya iklan sebagai instrumen produksi simbol dalam konsumsi menurut saya mulai terjadi ketika era kultural menguat di era 1970-an. Karena banjir produk, perlu upaya-upaya baru agar konsumen tetap mau mengonsumsi produk. Untuk itu kebutuhan perlu diciptakan, dikonstruksi. Di sinilah perlunya rekayasa simbolik – salah satunya melalui iklan - yang pada intinya tidak memosisikan produk sebagai realitas material saja namun juga simbolik, yang berhubungan dengan identitas, citra diri, gaya hidup, dan afirmasi keanggotaan pada kelompok sosial yang membedakannya dengan kelompok lain.

 

Dalam dinamika ini, masing-masing kelas mempertegas dominasinya melalui distribusi modal ekonomi dan modal kultural. Bourdieu (1984) dalam hal ini mencatat bahwa kelas dominan memiliki ruang otonom yang strukturnya didefinisikan oleh, pertama, distribusi modal ekonomi dan kultural ke para anggotanya, fraksi-fraksi dalam tiap kelas yang dicirikan oleh konfigurasi distribusi tersebut yang berhubungan dengan gaya hidup melalui mediasi habitus; kedua, distribusi kedua jenis kapital di antara fraksi ini distrukturkan secara simetris dan terbalik; ketiga, struktur aset, bersama trajectory sosial, memerintahkan habitus dan pilihan sistematis dalam area practice,  di mana pilihan konsumtif dianggap sebagai estetis dan berdimensi tunggal, yang termanifestasi dalam gaya hidup (Bourdieu, 1984, hal. 260).

 

 

Referensi

 

Baudrilllard, Jean, Simulacra and Simulation, The University of Michigan Press, 1981

 

Bourdieu, Pierre, Distinction, A Social Critique to the Judgement of Taste, Routlegde, 1984

 

Sama, Ramzan, Journal of Creative Communications, 2019

 

Warde, Alan, After taste: Culture, consumption and theories of practice, Journal of Consumer Culture, 2014

 

 

 

 

 


Wednesday, September 22, 2021

Teori Media dan Teori Sosial

Redemptus Kristiawan/2106682685

 

Pertanyaan Penelitian: Bagaimana teori media dan teori sosial bisa menjelaskan fenomena digitalisasi?

 

Digitalisasi media memberikan tantangan serius dalam hubungannya dengan kajian media. Perubahan-perubahan penting terjadi dalam digitalisasi misalnya terkait proses produksi pesan, siapa saja yang bisa membuat pesan, struktur organisasi media, hubungan industrial, dan lain-lain. Beberapa perubahan itu bahkan bersifat disruptif. Tulisan ini ingin melihat sejauh mana teori media dan teori sosial mampu menjelaskan digitalisasi media beserta tantangannya.

 

Baik Couldry (2012) maupun David Hesmondhalgh & Jason Toynbee (2008) sama-sama membahas masalah keterkaitan teori media dan teori sosial dengan menekankan pada tantangan aktualnya.  Couldry mencatat setidaknya ada dua kesalahan dalam membahas hubungan antara media, masyarakat, dan dunia yaitu kepentigan pasar yang terlalu mendominasi proses produksi media dan dominasi tokoh teknologi media yang menjadi komentator di media. Couldry ingin bahwa kehidupan sosial menjadi pertimbangan utama dengan membedakannya dengan infrastruktur sosial (p.viii-ix).  Untuk itu diperlukan bantuan dari teori sosial untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai relasi media dan masyarakat serta dunia.  Dalam hubungannya dengan digitalisasi, hubungan teori media dan teori sosial menjadi menarik karena digitalisasi sebenarnya masih diliputi oleh ketidakpastian. Makalah ini berargumen bahwa kerjasama antara teori media dan teori sosial bisa menjadi modal penting dalam menjelaskan digitalisasi.

 

Couldry menyebut ada empat pendekatan media yaitu ekonomi politik media, teori medum, kajian media/textual analysis, dan teori media yang berorientasi sosial.  Pendekatan ekonomi politik melihat media dari aspek struktur ekonomi yang ada di  baliknya misalnya faktor kepemilikan, hubungan industrial, dan relasi-relasi yang memunculkan ketidaksetaraan. Saat ini, textual analysis dinilai mendominasi kajian komunikasi misalnya lewat cultural studies dan berbagai studi misalnya film dan televisi. Teori medium melihat media dalam aspek proses pengiriman pesan dan penerimaannya. Couldry sendiri merekomendasikan untuk lebih melihat pada aspek teori media yang berorietasi sosial yang menekankan keterlibatan media dalam kehidupan sosial dimana teori-teori berbagai disiplin ilmu sosial diperlukan. Di situ pula Couldry melihat relevansi pemikir-pemikir penting ilmu sosial seperti Bourdieu utamanya dari aspek arena produksi kultural, sosiolog Jerman Norbert Elia, Durkheim, dan lain-lain.

 

Couldry sangat berhati-hati saat membahas digitalisasi. Dia tidak mau terburu-buru membuat proposisi-proposisi baru dan lebih menekankan aspek ketidakpastian dalam proses digitalisasi. Couldry menawarkan beberapa pertanyaan untuk membahas ketidakpastian itu yaitu, apa dan siapa itu media; apa yang kita kerjakan dengan media; apakah media masih realistis sebagai kegiatan ekonomi; apa saja proses perubahan media dalam aspek sosial politik; dalam skala apa media berdampak; dan apakah kehidupan akan lebih baik dengan media.

 

Berbeda dengan Couldry, saya berargumen bahwa meskipun digitalisasi memberikan beragam ketidakpastian, namun teori-teori sosial yang ada – walaupun tidak semua -  bisa menjelaskan fenomena terkait digitalisasi misalnya soal hoaks dan post-truth yang bisa dijelaskan melalui simulacrum Baudrillard atau munculnya masyarakat jaringan yang dibahas oleh Castells. Model bisnis media digital juga sudah dibahas oleh  ahli misalnya Nobuko Kawashima (2020). Yang diperlukan adalah eksplorasi lebih mendalam dari para pemikir sosial yang ada dan melihat berbagai isu dalam keterkaitannya dengan media digital.

 

******

 

Persoalan pentingnya mengeksplorasi teori sosial secara lebih mendalam juga disampaikan oleh editor Hesmondhalgh & Toynbee (2008). Media perlu secara lebih serius mendalami teori-teori sosial. Mereka mengajukan dua tantangan yaitu apakah fase sejarah baru saat ini menghasilkan hubungan sosial yang baru, dan perlunya mendalami lagi para pemikir besar seperti Habermas, Bourdieu, Castells, Hall, Giddens, dll. terutama dengan menggali lebih dalam konsep-konsep mereka dan tidak terfokus hanya pada satu dua konsep mereka yang terkenal (hal. 1).

 

Menurut Hesmondhalgh & Toynbee, pentingnya teori adalah bahwa teori mampu menjelaskan pengalaman dan ide terkait dunia sosial secara lebih sistematis daripada wacana biasa sehari-hari (hal. 2). Teori bisa dibentuk dari pengolahan ide yang sudah ada dan bisa juga melalui proses induktif yang tumbuh dari bawah. Tiap disiplin ilmu tentu akan berbeda dalam mendefinisikan masalah teori-teori sosial, misalnya perbedaan empirisme dan konstruksionisme. Kedua editor menunjukkan cara untuk mempebaharui teori sosial sehingga dapat bergerak maju dari sekarang dan bisa diadopsi oleh teori media (hal. 4-5). Keduanya juga mengritik apa yang mereka sebut sebagai parokialisme dan media sentrisme. Parokialisme adalah gejala di mana kajian-kajian media menjadi tertutup dan mengangggap bahwa merekalah yang paling tepat menjelaskan masalah media. Keduanya mengambil contoh parokialisme antara studi ekonomi politik dan cultural studies yang terus berseteru.  Ini ironis karena keduanya berakar dari marxisme dengan beberapa revisi. Ekonomi politik berfokus pada media dalam konteks kapitalisme kontemporer sementara cultural studies banyak membahas soal idelologi dan representasi.

 

Parokialiasme menjadi tidak produktif karena dinamika media dan masyarakat jauh lebih kompleks daripada dua teori itu, seperti yang disampaikan oleh Raymond Williams (1962). Pertanyaan Williams sekilas sederhana namun sebenarnya hendak menggambarka hubungan yang rumit antara media dan masyarakat. Dia mempertanyakan bagaimana posisi media dalam masyarakat, bagaimana masyarakat memengaruhi media, dan bagaimana relasi keduanya terbentuk.

 

Hesmondhalgh & Toynbee merekomendasikan dua hal yang bisa diambil teori media dari teori sosial yaitu kebutuhan untuk mencari akar filosofis lebih kuat untuk menjawab pertanyaan normative dan konsep kausalitas, apa yang penting yang ingin kita ketahui dari masyarakat, mengapa hal itu terjadi. Kajian media seharusnya menjadi arena refleksi dari masalah sosial yang ada.

 

Penutup

Saya melihat benang merah antara fenomena perubahan terkait dengan digitalisasi dengan apa yang disampaikan oleh Couldry dan Hesmondhalgh & Toynbee. Ketiga pemikir ini melihat perlunya mengeksplorasi teori-teori sosial secara lebih mendalam untuk berkontribusi pada teori media. Ini mengindikasikan adanya kondisi yang belum mapan dalam hal bagaimana seharusnya teori media berdinamika dengan teori sosial. Hesmondhalgh & Toynbee. Secara tajam mengritik belum maksimalnya eksplorasi terhadap pemikir-pemikir raksasa dalam ilmu sosial seperti Habermas, Bordieu, Castells, dan lain-lain.

 

Jika tantangan itu terkait media analog, maka bisa dibayangkan betapa kompleksnya kebutuhan teoritik untuk menjelaskan media digital. Kompleksitas digitalisasi itu menurut saya menuntut dua hal sekaligus yaitu lebih mendalami teori-teori yang ada dan membahasnya dalam kontek digitalisasi dan mengembangkan teori-teori baru dengan mengikuti secara intensif proses digitalisasi yang ada. Masalah digitalisasi yang ada saat ini kecepatan perubahan yang sangat tinggi yang jika tidak diikuti oleh telaah teoritik yang juga cepat, maka teori-teori media digital akan ketinggalan.

 

 

Referensi

Couldry, Nick (2012) Media, Society, World: Social Theory and Digital Media    Practice. Cambridge: Polity Press

 

Hesmondhalgh, David & Toynbee, Jason. eds. (2008) The Media and Social Theory. Oxon: Routledge

Kawashima, Nobuko, Changing Business Models in the Media Industries  (2020), Doshisha University

 

 

 


Wednesday, September 15, 2021

Kekerasan terhadap Jurnalis dalam Perspektif Kapital dan Arena

Redemptus Kristiawan/2106682685

 

Pertanyaan Penelitian: Bagaimana menjelaskan kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan menggunakan perspektif kapital dan arena?

 

 

Meskipun secara legal Indonesia sudah memiliki sistem pers yang bebas melalui UU No. 40/1999, namun apresiasi terhadap profesi jurnalis masih tergolong rendah. Salah satu indikatornya adalah kekerasan terhadap jurnalis yang masih saja terjadi, bahkan sampai pada tindakan pembunuhan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa pada tahun 2020 ada 84 kasus. Sementara di tahun 2021 sampai bulan Agustus ada 24 kasus. Menarik untuk dilihat bahwa pada tahun 2020, mayoritas pelaku kekerasan adalah polisi sebanyak 55 kasus (Aliansi Jurnalis Independen, 2021 https://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1/10.html). Termasuk dalam kategori kekerasan itu adalah kekerasan simbolik misalnya ancaman verbal, intimidasi, dan serangan digital. Di sini relevansi pemikiran Pierre Bourdieu soal kekerasan simbolik menjadi relevan, meskipun kekerasan fisik juga masih terjadi.

 

Tulisan ini melihat bahwa kekerasan terhadap jurnalis berhubungan dengan kontestasi antar kapital oleh berbagai aktor dalam arena jurnalistik. Menurut saya, kontestasi itu masih melibatkan relasi kekuasaan yang melibatkan kekerasan sebagai instrumennya sehingga jalan non-kekerasan melalui jalur hukum tidak maksimal dijalankan.

 

Jika dilihat dari fakta bahwa polisi menjadi aktor dominan pelaku kekerasan, itu berhubungan dengan modal sosial polisi yang sewajarnya dikontestasikan oleh polisi melalui jalur non-kekerasan, tapi kemudian dibelokkan ke arah kekerasan. Modal sosial polisi berupa akses pada proses penertiban sosial yang diperoleh dari otoritas negara. Akses polisi dengan memiliki modal sosial ke arena jurnalistik sebenarnya kuat dan bisa dilakukan dalam jalur non-kekerasan. Akan tetapi kekurangpahaman pada UU Pers membuat mereka menggunakan modal aparatus kekerasan untuk tetap bisa berkontestasi dan menjaga dominasi dalam arena jurnalistik.

 

Kekerasan yang dilakukan dalam arena jurnalistik tidak sebanding dengan modal sosial yang dimiliki jurnalis untuk berkontestasi dalam arena jurnalistik. Modal sosial jurnalis berupa keterampilan jurnalistik dan jaminan hukum pada kegiatan jurnalistik dalam kriteria non-kekerasan seharusnya mampu berkontestasi dalam arena jurnalistik. Akan tetapi ketika harus berhadapan dengan kekerasan, modal sosial itu menjadi tidak bermakna. Logika yang sama terjadi dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik.

 

Akan tetapi tidak selalu bahwa jurnalis ada dalam posisi yang benar. Dalam  kasus lain, kekerasan yang menimpa jurnalis terjadi karena memang jurnalis tidak memiliki modal sosial memadai misalnya pemahaman pada etika jurnalistik. Kekerasan sering terjadi karena jurnalis melakukan provokasi atau penipuan.

 

Selain kekerasan fisik, jurnalis juga sering mengalami kekerasan simbolik berupa ancaman, serangan digital, pelecehan berbasis gender, dan intimidasi.

 

Definisi dan Genealogi

Theory of practice merupakan teori penting dari Bourdieu yang di dalamnya meliputi tiga konsep kunci yaitu kapital, arena, habitus. Meskipun enggan disebut sebagai Marxis, Bourdieu sangat dipengaruhi oleh Marx dalam membahas kapital. Marx melihat kapital dalam pengertian ekonomi dan akses pada proses produksi. Persamaan Bourdieu dan Marx ada pada konsep modal kultural. Seperti Marx, Bourdieu percaya bahwa kapital merupakan dasar bagi kehidupan sosial dan menentukan posisi seseorang dalam tatanan sosial. Modal adalah sekumpulan sumber daya dan kekuatan yang bisa dikelola seseorang (Bourdieu, 1984). Akan tetapi, Bourdieu kemudian memperluas ide Marx soal kapital melampaui ekonomi dan lebih menekankan pada aspek simbolik dari budaya.  Bourdieu membagi modal ke dalam tiga jenis yaitu modal ekonomi, modal kultural, dan modal sosial.

 

Modal ekonomi menurut Bourdieu adalah modal yang bisa dikonversi langsung dalam bentuk uang yang tercermin dari pendapatan individual atau keluarga. Meskipun Bourdieu mengakui bahwa modal ekonomi merupakan bentuk modal yang penting dalam memahami kehidupan sosial, dia sebenarnya tidak terlalu menaruh perhatian khusus karena ketiadaan modal ekonomi tidak membuat seseorang tidak bisa memiliki akses ke modal lain (Eunjong Ra, 2011).

 

Konsep Bourdieu tentang modal kultural mengacu pada sekumpulan elemen simbolik seperti keterampilan, selera, postur, cara berpakaian, kepemilikan material yang didapat seseorang dari kelas sosial tertentu. Berbagi bentuk modal kultural akan menciptakan identitas kolektif dan posisi kelompok.

Bourdieu melihat modal sosial sebagai properti individual ketimbang kolektif yang diturunkan dari posisi dan status sosial. Modal sosial memampukan orang untuk mengerahkan kekuatan dalam kelompok untuk memobilisasi sumber daya. Modal sosial tidak secara seragam tersedia bagi seluruh anggotal kelompok sosial tapi hanya tersedia bagi mereka yang berusaha merahnya melalui posisi, status, dan yang mengupayakan niat baik (Bourdieu, 1986).

Dalam membahas simbol dan tatanan sosial, Bourdieu dipengaruhi oleh Max Weber. Weber melihat pentingnya dominasi dalam sistem simbolik di dunia sosial. Ini yang membedakannya dengan kelompok linguistic strukturalis. Oleh Bourdieu, hal itu lalu ditransformasi menjadi konsep arena (field). Penjelasan sosial harus selalu memperhitungkan dimensi simbolik yang berkaitan dengan legitimasi kekuasaan (tradisional, karismatik, legal-rasional) (Haryatmoko, 2010. hal. 3).

Arena menunjuk pada wilayah produksi, sirkulasi, pertukaran ide, barang, pengetahuan, dan status. Ketika Bourdieu membangun teorinya, konsep arena sudah digunakan secara jamak di disiplin ilmu lain, misalnya matematika, psikologi, dan fisika yang sudah menggunakan arena dalam derajat sistematika yang beragam. Meskipun Bourdieu mengembangkannya dan kemudian tampak otonom, tetap ada persamaan epistemologis dengan ilmu lainnya (Hilgers & Mangez, 2014).

Kualitas modal berhubungan dengan kemampuan untuk masuk dan berkontestasi di arena spesifik. Tiap arena memiliki aturan dan syarat modal yang diperkukan untuk berkuasa. Jika modal yang dimiliki relevan dengan arenanya, maka seseorang akan mampu meraih kekuasaan dan memobilisasi sumber daya. Dengan demikian kekuasaan bersifat relatif, tergantung pada modal yang dimiliki dan arena dimana modal itu berkontestasi. Hal ini berbeda dengan pemikiran Marx yang struktural deterministic dengan menganggap bahwa arena ekonomi dan modal ekonomi secara absolut menentukan seluruh corak dinamika sosial.

Dalam hubungannya dengan simbol dan bahasa, Bourdieu dipengaruhi oleh ahli linguistik dan semiotika strkturalis Perancis, Ferdinand de Saussure. Saussure melihat proses pemaknaan simbol ke dalam tiga fungsi yaitu sign (tanda), signifier (petanda), dan signified (penanda). Akan tetapi, mengikuti Weber, perspektif strukturalis ini kemudian diperluas oleh Bourdieu dengan meletakkan proses pemaknaan simbolik yang dikaitkan dengan kualitas dominasi di dalam arena. Ini kemudian menggiringnya ke arah eksplorasi mengenai kekerasan simbolik.

Kekerasan simbolik adalah sebuah bentuk dominasi kultural dan sosial yang berlangsung dalam ranah tidak sadar dalam bentuk dikriminasi terhadap identitas ras, etnik, gender. Bourdieu kadang menggunakan istilah kekerasan simbolik, kuasa simbolik, dan dominasi simbolik untuk merujuk fenomena yang sama. Kekerasan simbolik bersifat tidak sadar karena sudah ada kepercayaan yang tertanam dalam tatanan sosial sejak lama sehingga kekerasan simbolik menjadi samar (Bourdieu, 1994). Oleh karenanya memanifestasikan kekerasana simbolik sering susah dilakukan karena beroperasi melalui wacana, tidak ada luka, dan tidak ada trauma, tidak ada ketakutan (Haryatmoko, 2010).

 

Referensi

Bourdieu, Pierre, Outline of a Theory of Practice, Cambridge University Press, Cambridge, 1995

---------------------, Rethinking the State, Genesis and Structure of the Bureaucratic Field,  Routledge, London, 1994

Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Gramedia, Jakarta, 2010

 

Hilgers, Mathieu ; Mangez, Eric. Introduction to Pierre Bourdieu's social fields. In: Hilgers M., Mangez E, Bourdieu's Theory of Social Fields. Concepts and applications, Routledge, London, 2014

Karman,  Bahasa dan Kekuasaan, Instrumen Simbolik Peraih Kekuasaan Versi Bourdieu, Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Volume 21 Nomor 2, 2017

Ra, Eunjong, Understanding the Role of Economic, Cultural, and Social Capital and Habitus in Student College Choice: An Investigation of Student, Family, and School Contexts, Dissertation, University of Michigan, 2011

Tawulo, Megawati Asrul; Sarpin, Ridwan, Harnina, Kekerasan Simbolik terhadap Wartawan Lokal di Kendari, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 3, Juni 2018

 

 

 

 


Tuesday, September 07, 2021


 

Mediasi dalam Perspektif Hegemoni

Redemptus Kristiawan/2106682685

 

Pertanyaan Penelitian: Bagaimana proses mediasi terjadi dalam perspektif hegemoni.

 

Konsep tentang hegemoni berpengaruh dalam cultural studies. Hegemoni adalah buah pikiran Antonio Gramsci (1891–1937), seorang filsuf dan politisi Marxis asal Sardinia, Italia. Dalam konteks studi media, hegemoni sangat berpengaruh dalam melihat bahwa media massa tidak sekedar merupakan pencipta realitas dan pengirim pesan namun juga berpengaruh dalam proses perubahan sosial. Selain itu, adopsi perspektif yang membongkar pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah itu juga membuka jalan kajian formasi budaya terutama budaya populer. (da Silva Mendes Moraes, 2018).

Walaupun seorang Marxis, Gramsci tidak secara total mengikuti pokok pemikiran Karl Marx. Gramsci justru melakukan beberapa revisi yang sangat penting. Gramsci misalnya, menolak model materialisme historis yang deterministik, mekanistik, dan struktural dari Marx. Sebagai kritik, Gramsci kemudian menyodorkan pentingnya tindakan manusia dalam melakukan transformasi sosial. Menurut Gramsci, relasi antara base structure dan super tructure berifat resoprikal, tidak deterministik. Ini berbeda dengan konsepsi Marx dimana super structure merupakan cerminan dari dan tergantung pada base structure.

Dalam super structure, subjek sadar akan adanya kontradiksi dalam kehidupan material dan melawannya, namun ini bukan merupakan proses yang cepat dan mekanis. Meskipun semua orang memiliki konsepsi tentang dunia, tetapi itu tidak selalu konsisten dengan realitas keseharian mereka. Kebanyakan orang akan diatur oleh akal sehat yang memiliki karakter dasar terpilah, inkoheren, dan tidak teratur (bahkan sejak dalam pikiran), menurut posisi sosial dan kultural kebanyakan orang, di antaranya adalah filsafat (Gramsci, 2013: 114).

Karakter mekanisistis dan materialisme historis Marx ini menciptakan apa yang disebut ekonomisme yang mereduksi perjuangan kelas. Perjuangan kelas semata hanya menjadi domain kelas pekerja, bukan masyarakat umum. Inilah yang menjadi kegagalan marxisme saat itu yaitu mereduksi perjuangan kelas oleh kelompok pekerja saja sebagai dampak dari dominasi ekonomisme. Inilah yang kemudian diperluas oleh Gramsci yang mengintegrasikan perjuangan kelas pekerja dengan masyarakat sipil kebanyakan. Spektrum isunya juga menjadi lebih luas. Keberadaan masyarakat sipil ini merupakan implikasi dari pendapat Gramsci bahwa cara pandang manusia tidak hanya melulu ekonomi.

Konsep hegemoni pada dasarnya berpendapat bahwa kekuasaan dan dominasi tidak melulu bisa dicapai dengan cara-cara koersif namun bisa juga dilakukan dengan kepemimpinan intelektual dan moral (intelettuale é morale direzzione, Joseph V. Femia,1981). Antara pihak penguasa dan yang dikuasai seolah-olah ada kesepakatan sebagai hasil reproduksi ideologis kelas penguasa, dalam hal ini adalah pemegang sistem produksi kapitalisme, dan yang dikuasai. Proses reproduksi intelektual dan ideologis penguasa dilakukan oleh peran intelektual melalui berbagai lembaga sosial seperti sekolah, partai, kelompok agama, media massa, dan lain-lain.

Media massa dalam pandangan Gramsci merupakan instrumen penting dalam proses pembentukan hegemoni karena kemampuannya dalam menciptakan realitas dan pengetahuan yang sangat penting dalam membentuk persetujuan dalam kerangka hegemoni kelas berkuasa ke kelas bawah. Dalam hal ini, Gramsci sudah bergeser jauh dari Adorno dan Horkheimer yang melihat media massa sekedar sebagai aparat industri kebudayaan tapi melupakan aspek non-komoditas yaitu proses transfer ideologi kelas penguasa ke kelas proletar.

Pendekatan ideologis ini ditolak oleh pemikir komunikasi Brasil bernama Jésus Martin-Barbero. Perspektif ideologis hegemonian mereduksi sarana komunikasi menjadi sekedar instrumen yang tujuan dasarnya hanyalah menyebarkan ideologi dominan yang dipaksakan ke kelas yang terdominasi. Ini adalah pendekatan yang merampas media dari kompleksitas kebudayaan dan realitas material kelembagaannya serta dinamika di dalam masyarakat yang menjadi target hegemoni (da Silva Mendes Moraes, 2018: 181).

Perspektif ini juga mengesampingkan fakta bahwa ada resistensi dari kelas yang dikuasai dan menganggap mereka sebagai entitas pasif belaka. Padahal kekuasaan yang bulat utuh terbukti tidak penah terjadi. Selalu ada resistensi sekecil apapun dalam kelas yang dikuasai sebagai dampak dari proses ideologisasi yang juga tidak pernah sempurna.

Akan tetapi, Barbero juga menolak teori informasi yang sekedar memosisikan media secara instrumental hanya sebagai alat penyebar informasi yang mengesampingkan dinamika relasi kekuasaan di dalamnya. Penolakan perspektif ideologis dan informatif sekaligus oleh Barbero ini menjadi seolah menemui jalan buntu karena seolah tidak ada jalan keluar bagi eksplorasi teoritik selanjutnya. 

Kondisi ini terbantu oleh cara berpikir dialektis perspektif kritis yang diwarisi dari tradisi Hegelian di mana Gramsci juga menerapkannya. Konsep hegemoni membuat Martin-Barbero berpikir tentang dominasi simbolik tidak lagi sebagai pemaksaan dari luar namun merupakan proses dinamis yang melibatkan bujukan dan keterlibatan. Hegemoni satu kelas pada kelas yang lain tidak terjadi per se, tapi dikonstruksi dan direkonstruksi oleh proses subjektif yang memerlukan pengakuan dari kelas yang terdominasi. Jadi, budaya bawah dan hegemonik tidak bersifat eksternal atau resisten seperti yang dibayangkan banyak orang. Ada pertempuran yang hasilnya tumpang tindih satu sama lain (da Silva Mendes Moraes, 2018: 183).

Sampai pada titik ini, menurut Barbero, yang terjadi adalah proses mediasi. Penilaian ulang terhadap kelas bawah memungkinkan melihat media dalam konteks yang tidak melulu hegemonik dari kelas atas tapi juga mengakomodasi matriks kultural dari kelompok yang menjadi target hegemoni. Ini menjelaskan bagaimana ekspresi-ekspresi simbolik dari kelas bawah yang bisa terakomodasi ke dalam produksi media massa dan kebudayaan lebih luas. Selalu ada proses signifikasi dan resignifikasi dalam kolektivitas yang terintegrasi dalam proses komunikasi.

What I began to call mediations were those spaces, those forms of communication that lied between the person who listened to the radio and what was said on the radio. There was not a single isolated individual upon whom the impact of the environment acted, which was the American way of seeing it [...]. Mediation meant that between stimulus and response there is a thick space of beliefs, customs, dreams, fears, everything that shapes the daily culture. (Martín-Barbero, 2000, apud Silva, 2017: 303).

Konsep mediasi membuka jalan reinterpretasi komunikasi massa – dalam konteks Martin-Barbero adalah budaya Amerika Latin – sebagai dominasi kultural dan resistensi kerakyatan yang hibrid. Memang tidak bisa menolak kekuatan industri dalam komunikasi dan bagaiman propaganda kultural kelas ada di dalamnya. Namun tetap ada fenomena proses survival kebudayaan kelas bawah. Ini kemudian menciptakan heterogenitas pesan komunikasi, yang melayani logika dominasi dan permintaan simbolik dari kelas yang terdominasi sekaligus.

Keunikan cara berpikir Barbero dalam mengeksplorasi konsep mediasi adalah babwa dia mengritik konsep hegemoni klasik yang tidak memberikan ruang optimisme pada kelas yang menjadi target hegemoni, namun tetap menggunakan cara berpikir Gramsci untuk sampai pada konsep mediasi. Ini selaras dengan tradisi Marxian yang selalu memberi revisi terhadap pemikiran Marx tanpa meninggalkan keseluruhan bangunan pemikiran Marx.

 

Referensi

Femia, Joseph V., Gramsci’s Political Thought, Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary, Clarendon, Oxford, 1982

Gomes, Pedro Gilberto, From Media to Mediations:
Jesús Martín-Barbero in the Unisinos Communication Theory, University of Vale do Rio dos Sinos, Sao Leopoldo, 2018

Martin-Barbero, J., Communication, Culture, and Hegemony, from Media to Mediations, SAGE Publication, London, 1993

Moraes, Glaucia da Silva Mendes, The Concept of Hegemony in the Path from the Media to Mediations, Rio de Janeiro, 2018