Monday, March 21, 2005

Tutuk, si Sopir Atlas itu Pemilik Perusahaan Angkutan Terbesar di Semarang

Oleh Hendrika Yunapritta, R. Kristiawan

Bisnis angkutan tak lepas dari gebukan krisis karena harga onderdil melangit. Utang Tutuk Kurniawan juga membengkak. Tapi, berkat keuletannya, raja taksi dari Semarang ini berhasil merangkak keluar dari terowongan panjang bernama krismon.

Penampilan Tutuk Kurniawan, 44 tahun, bak seorang sopir taksi. Setelan biru muda, dengan tulisan Atlas Group di saku kanannya, mengingatkan orang kepada seragam sopir sebuah perusahaan taksi di Semarang. Memang, Tutuk adalah pemilik perusahaan taksi Atlas. "Sebenarnya sopir saya lebih kaya karena tak punya utang. Utang saya kan menumpuk," kata Tutuk. Bisa jadi utangnya menumpuk. Maklum, ketika gawat-gawatnya krismon, dua tahun silam, Tutuk malah membeli 125 unit bus merk Nasima senilai Rp 12 miliar. Akibatnya, selama dua tahun ia harus menanggung rugi. Tapi, dari hasil kerja kerasnya, Tutuk kini berhasil menguasai 65% trayek angkutan di Semarang. Makanya, ia mengaku berhasil keluar dari lilitan krisis ekonomi. "Ibarat berjalan kaki dalam terowongan dengan suhu 200 derajat Celcius," ucapnya. Perjalanan Tutuk untuk menguasai trayek sedemikian besar, plus 700 armada Taksi Atlas di Semarang, tidak diraih dengan ongkang-ongkang kaki. Putus sekolah SMU, 1972, ia terpaksa membantu usaha ayahnya di pabrik rokok. Tapi, di situ ia hanya bergabung sebentar karena bangkrut. Jadi, Tutuk harus mencari penghidupan sendiri untuk keluarganya. Dasar sedang hoki, saat bingung tidak ada pekerjaan, secara tak sengaja dia bertemu dengan pengusaha taksi yang batal membuka cabang di Semarang. Tan Gim Yiang, pemilik Surabaya Taksi itu, malah jatuh hati pada keuletan Tutuk. Dia meminjamkan sebuah taksi untuk dioperasikan. "Kalau rugi, ya, dianggap hadiah. Tapi, kalau untung, diteruskan," kenang Tutuk. Sejak itulah ia rajin menyetiri taksinya mengelilingi kota Semarang untuk mencari penumpang. Dari kegigihan itulah Tutuk secara tidak sengaja berjumpa dengan Marimutu Sinivasan, yang kemudian menjadi pengusaha tekstil terbesar di Indonesia. Kala itu, tahun 1976, Sinivasan sedang mencari lahan untuk pabriknya di Kendal. Tutuklah yang mengantar pengusaha keturunan India ini, karena dia memang pemilik satu-satunya taksi di Semarang. Belakangan, dia dipercaya Sinivasan untuk menangani angkutan 55.000 karyawan Texmaco di Kendal. Nah, setelah menyisihkan sedikit untuk biaya hidup, Tutuk rajin membayar cicilan utangnya. Sebenarnya, ia bisa saja mengemplang, karena Tan sendiri sebenarnya tak terlalu peduli taksinya akan dikembalikan atau tidak. "Orang itu jangan seperti babi. Kalau dapat tiga piring, ya sisihkanlah satu piring untuk persediaan," katanya. Sebagai orang Tionghoa, dia memegang teguh prinsip itu. Tan, yang tadinya menganggap bahwa pasar Semarang tidak bagus untuk bisnis taksi, tentu saja heran dengan keberhasilan Tutuk. Karena Tutuk setia membayar cicilan, Tan bersedia memberi utangan lima buah taksi lagi. Dan Tutuk selalu bisa melunasi utangnya. Bisnis Tutuk terus berkembang, hingga tahun 1987, dia memiliki 70 unit taksi. Setahun kemudian, Tutuk mendapat izin usaha dari pemerintah daerah Semarang, dan berdirilah Atlas Taksi.

Bisnis jeruk Pontianak dengan Bambang Tri
Dalam menjalankan bisnisnya Tutuk selalu mengandalkan kejujuran, ketekunan, dan keuletan. Prinsip ini ia terapkan secara ketat kepada karyawannya. "Kalau ketahuan tidak jujur, langsung saya pecat tanpa peringatan," ujar Tutuk, yang juga Ketua Paguyuban Pengusaha Taksi Jawa Tengah. Sebagai penjual jasa angkutan, ia pun selalu menganggap pembeli adalah raja. Jadi, apa pun kesalahan yang terjadi, tetap saja harus ditimpakan kepada sang penjual. Kendati pengawasan sudah ketat, toh Tutuk mengaku masih sering kecolongan. Ia, misalnya, sering menerima keluhan dari konsumen tentang beberapa sopirnya yang ogah memakai argo. Jalan keluarnya, Tutuk memasang iklan hadiah Rp 5 juta bagi mereka yang melaporkan nomor taksi tanpa argo tersebut. Anehnya, tak ada satu pun laporan yang masuk. "Itulah susahnya berbisnis dengan masyarakat luas, mudah disalahkan, jarang mendapat pujian," katanya. Selain berbisnis angkutan, Tutuk pernah menjajal terjun ke agribisnis. Kebetulan tahun 1990 dia pernah diajak bekerja sama dengan Bambang Trihatmodjo, putra mantan Presiden Soeharto, untuk berbisnis Jeruk Pontianak. Ia diminta memegang penjualan untuk daerah Pulau Jawa. Tutuk mengaku, berkawan dengan anak presiden membuatnya takabur. "Karyawan Bank Pembangunan Daerah (BPD) pernah saya anggap sebagai bawahan," kenangnya. Bisnis barunya itu memang gilang-gemilang. Dalam satu bulan, misalnya, omzet penjualannya mencapai Rp 6 miliar. Tapi, ini tak bisa langgeng. Tahun 1993, banyak jeruk busuk. Akibatnya dia bangkrut lantaran rugi Rp 35 miliar. Semua harta milik Tutuk disita bank, termasuk jam tangan yang dipakainya. Semenjak itu, ia bertekad menancapkan kukunya di bisnis angkutan saja. Kendati kena gebuk krismon, karena harga onderdil naik hingga lima kali lipat, Tutuk tidak menyerah. Malah nekat menambah 125 bus untuk armadanya. Sekarang Tutuk mengendalikan PT Wahana Eka Utama, induk usaha yang menangani beberapa usaha angkutan. Usaha busnya, sampai saat ini masih memonopoli trayek Salatiga-Semarang, Salatiga-Ambarawa, dan Semarang-Bandungan. Perusahaan Tutuk juga dikontrak Texmaco untuk angkutan karyawan. Di Kendal saja dia memegang kontrak Rp 50 juta sebulan. Belum lagi armada Taksi Atlas, berjumlah 700 unit. Lantas Tutuk masih memiliki usaha penyewaan 70 unit limousine. Total omzet ditaksir mencapai Rp 2 miliar per bulannya.

Macan yang Religius
Dilahirkan di kota Semarang, 44 tahun silam, dari keluarga pengusaha rokok. Orang tuanya pernah tercatat sebagai orang terkaya kedua di kota tersebut. Namun, Tutuk dididik sangat keras oleh sang ayah. Ketika masih duduk di SD, misalnya, ia selalu berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang jaraknya delapan kilometer. "Padahal, di rumah banyak mobil," ujar Tutuk. Salah satu pesan yang terus diingat dari ayahnya adalah filosofi macan. "Kamu lahir di kandang macan, suatu saat pasti punya taring. Tapi, pakailah taringmu dengan benar, jangan asal gigit," pesan ayahnya yang menjadi pegangan Tutuk dalam berbisnis. Maka, sekarang ia sudah menjadi macan dalam kerajaan bisnis yang mempekerjakan 4.000 karyawan ini. Tutuk selalu memegang teguh kepercayaan pada karyawannya. "Asal mereka jujur," katanya. Selain aktivitasnya di dunia bisnis, pengemar burung ini dipercaya menjadi Ketua Yayasan Puspo Rejo, sebuah yayasan umat Budha. Yayasan ini bertugas membangun Vihara, sebagai tempat ibadah. Terakhir, yayasan ini membangun vihara senilai Rp 1,6 miliar di Jawa Tengah. Organisasi keagamaan seperti ini memang tak asing bagi Tutuk. Ayahnya adalah Ketua Yayasan Samboka. Pada umur 14 tahun Tutuk sudah didaulat untuk menggantikannya. Namun, karena merasa masih terlalu muda, ia melimpahkan kepada sang kakak. Tidak tamat dari SMU lantaran harus segera menikahi pacarnya, Tutuk juga mengaku tidak pernah belajar dari buku.

Keberhasilannya di bidang usaha sepenuhnya mengandalkan pengalaman lapangan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dia juga tak suka dibilang sukses. "Karena perasaan sukses adalah awal kehancuran," ucap bapak tiga anak, yang semuanya kuliah di Amerika ini.

(sudah dimuat di Kontan Edisi 24/IV tanggal 13 Maret 2000)

Dari Lapak, Sucipto Jadi Raja: Kisah pengusaha pengumpul kertas dari Yogyakarta

Oleh Christiantoko, R. Kristiawan (Yogyakarta)

Ayahnya hanya seorang petani miskin. Karena itu, sejak kecil Sucipto sudah terbiasa kerja keras. Nasibnya berubah setelah menjadi pengumpul kertas. Ia merasa bangga karena berhasil mewujudkan cita-cita bapaknya: hidup enak.

Punya deposito miliaran rupiah, tanahnya tersebar di mana-mana, sementara rumahnya ditaksir lebih dari setengah miliar. Belum terhitung puluhan truk, mobil pick-up, serta beberapa mobil pribadi. Kendati sekarang berhasil mewujudkan cita-cita ayahnya, seorang petani miskin yang menginginkan anak-anaknya hidup enak, Noto Sucipto tetap rendah hati. Maklum, sebelum menjadi pengusaha pengumpul kertas bekas ia hanya seorang kuli panggul di stasiun kereta Tugu, Yogyakarta. Bahkan, ia pernah menjadi buruh tani dan kuli gendong. Usaha mengumpulkan kertas bekas dirintisnya 1979. Dengan modal Rp 300.000, pinjaman dari tetangganya, Sucipto mulai membeli kertas bekas dari para pemulung. Kecil, memang. Tapi buat lelaki yang lahir dari keluarga miskin di pelosok Gunung Kidul, Yogya, utang itu terasa besar. Soalnya, sebagai kuli panggul yang berpenghasilan tidak menentu, Sucipto harus mengembalikan pinjaman itu dengan anakan (bunga) 10%. "Tidak seperti kuli panggul zaman sekarang, waktu itu belum banyak orang yang mau menggunakan jasa kuli di stasiun kereta," katanya. Satu-satunya modal untuk memulai usaha sebagai pengepul, selain uang pinjaman, hanya kerja keras dan keyakinan akan berhasil. Berangkat dari keyakinan tersebut, anak kedua dari lima bersaudara ini berani meninggalkan pekerjaan kuli panggul yang sudah ditekuninya sejak 1958. Hasilnya luar biasa. Dengan dukungan para tetangganya, yang juga berprofesi sebagai pemulung, Sucipto dalam sehari bisa mengumpulkan kertas bekas sebanyak 10 ton. "Waktu itu untung bersihnya sehari bisa mencapai Rp 70.000," kata Sucipto. Keruan saja hatinya berbunga-bunga. Sebab, ketika masih jadi kuli, penghasilannya cuma Rp 5.000 sehari. Kerja keras sebagai pengumpul kertas bekas yang dilakoni hingga sekarang ini memang tak sia-sia. Sekarang, 21 tahun kemudian, UD Pusaka milik Sucipto rata-rata setiap harinya mampu mengumpulkan 30 ton kertas bekas. Kertas bekas HVS yang masih bersih harga per kilonya sekitar Rp 3.200, HVS yang sudah ada cetakannya Rp 1.500, sedangkan koran bekas dan kardus dijual Rp 500 - Rp1.000. "Kalau sedang ramai bisa mencapai 40 ton sehari," katanya. Dengan harga sekitar Rp 1,3 juta, berarti omzet Sucipto mencapai Rp 40 juta per hari. Sementara keuntungan yang masuk ke kantongnya antara 15% hingga 20%. Dari hasil menjual kertas bekas itu, 1995, Sucipto membeli tanah seluas 1.600 M2 untuk membangun gudang baru. Gudang baru ini mampu menampung kertas bekas sebanyak 500 ton. Kebutuhan gudang ini sejalan dengan makin banyaknya setoran kertas, baik langsung dari pemulung, pengepul, langsung dari kantor-kantor, penerbitan, atau koran dan majalah bekas yang tidak terjual di pasaran. "Bahkan, pengepul dari Cilacap, Purwokerto, Gombong, Magelang, Purworejo, dan Solo pun rajin mengirimkan paket kertas bekas ke sini," kata Sucipto bangga. Di bawah UD Pusaka, Sucipto kini mampu mempekerjakan 10 orang supir dan 24 orang karyawan. Untuk supir, Sucipto menggaji setiap bulan Rp 175.000 plus uang harian Rp 23.000. Sedang karyawan gudang tugasnya adalah menyortir kertas dan mengangkutnya ke mobil. Mereka setiap hari menerima upah Rp 20.000 ditambah uang bulanan Rp 90.000. Karena merasakan susahnya bekerja sebagai kuli, tak heran bila Sucipto sebagai juragan ikut pula mengangkat-angkat kertas bekas bersama kuli lainnya. Rupanya, pengalaman menjadi kuli tak membuatnya menjadi sombong karena statusnya sebagai orang kaya baru.

Nekat menyerahkan hidup pada nasib
Hasil yang dinikmati Sucipto tentu bukan tanpa kerja keras. Sejak 1955, bersama saudara-saudaranya Sucipto mulai bekerja secara serabutan. Pernah menjadi buruh tani bagi tetangga-tetangganya yang lebih kaya dan punya lahan pertanian. Ketika musim buah tiba, Sucipto muda pun beralih profesi, menjadi kuli gendong. Tak tanggung-tanggung, ia harus memikul buah srikaya seberat 40 kg sejauh 40 Km dari Gunung Kidul ke Pasar Beringharjo di Yogyakarta. Pagi-pagi buta, Sucipto harus berangkat dan baru tiba di Yogya sore hari. "Kalau nasib baik, dagangan itu akah habis kira-kira jam 19.00," ujarnya. Begitu dagangan habis, Sucipto langsung kembali ke desanya dengan berjalan kaki lagi, dan baru tiba keesokkan harinya. Begitulah, selama tiga tahun, seminggu tiga kali pulang pergi berjalan kaki dari Gunung Kidul-Yogya. Ketika usianya menginjak 25 tahun, Sucipto memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta. Tapi ya itu tadi, penghasilannya sebagai kuli panggul tak cukup untuk makan. "Sering, penghasilan sehari untuk makan saja tidak cukup," katanya. Karena itu lah Sucipto bersama beberapa temannya nyambi berjualan beras di pasar Kranggan, sekitar 1,5 km dari stasiun Tugu. Sebagai kuli, Sucipto memang tergolong perkasa. Sekali angkut, tangan kanan dan kirinya bisa mengangkat beras masing-masing 1,5 kuintal. Tapi, apa boleh buat, penghasilannya tetap saja tidak tetap. Toh, dari sana intuisi bisnis Sucipto terasah. Apalagi pembeli berasnya banyak berasal dari Surabaya, tempat di mana nantinya Sucipto memasok kertas bekas untuk didaur ulang. Bekerja mengandalkan otot ternyata tak banyak membawa perubahan dalam kehidupan Sucipto. Setelah kepercayaan dan hubungan dengan teman-teman berhasil diraih, Sucipto banting setir ke dunia rongsokan. Ini bukannya tanpa risiko. Sebab, dalam sehari Sucipto harus berhasil me-ngumpulkan 10 ton kertas bekas. "Kalau tidak bisa, kontrak saya akan diputus," katanya. Karena modalnya pas-pasan, setiap selesai membeli, kertas bekas yang terkumpul langsung disortir berdasarkan jenisnya dan pada hari yang sama dikirim ke pabrik daur ulang di Surabaya. Kalau tidak begitu, ia tidak punya modal untuk membeli kertas bekas yang disetor pemulung keesokan harinya. Beruntung bisnis sampah yang biasa dijauhi pengusaha itu bisa disulap menjadi mesin penghasil rupiah. Kendati begitu, ia tak menghambur-hamburkan uangnya. Setelah dipakai untuk mencukupi kebutuhan hidup minimal seperti biasanya, sisa uang itu ditabung. Dengan begitu, kian hari bisnisnya kian berkembang. Setahun setelah menggeluti bisnis lapak, Sucipto berhasil mengantongi hak pakai tanah makam Cina seluas 400 meter persegi di daerah Badran. Waktu itu ia cuma menyewa tanah tersebut dengan harga Rp 400.000 selama sepuluh tahun. Di atas tanah itu lah Sucipto kemudian membangun gudang sederhana beratap seng untuk pertama kalinya. Seperti biasanya, tanah hoki itu pun masih dipertahankan sampai sekarang sebagai gudang merangkap kantor sederhananya.

Ilmu Pengusaha Semester Tiga
Terlahir dari keluarga miskin di desa, wajar bila Noto Sucipto tak berpendidikan. Tapi, itu tak membuatnya kehilangan rasa kepercayaan diri. Kendati cuma berpendidikan hingga kelas tiga Sekolah Rakyat (kini SD), Sucipto selalu menyebut dirinya jebolan semester tiga. Karena merasa tak mampu dan kurang pendidikan ini lah Sucipto baru berani melepas masa bujangnya usia 33 tahun. Istrinya bukan orang jauh, tapi bakul tetangganya berjualan beras di pasar. Beristrikan sesama pedagang membuat langkah Sucipto berbisnis makin mantap. Istrinya berjualan di rumah, sedang dirinya meniti karier di bisnis rongsokan. Dari istrinya ini Sucipto dikaruniai tiga orang anak. Dua di antaranya mengikuti jejak sang bapak, menjadi lapak kertas bekas. Memang diakui oleh Sucipto, hal ini tak terlepas dari pendidikan anak-anaknya yang cuma sampai di bangku Sekolah Dasar. "Maklum, lahirnya di zaman saya masih susah," kata Sucipto. Tapi, itu tak berarti Sucipto berkecil hati. Sebab, dari anak-anaknya sudah terlahir para cucu yang kelak sudah disiapkan oleh kakeknya untuk meneruskan kerajaan bisnis kertas bekas. Sebab, Sucipto memang sudah mendapat julukan Raja kertas bekas dari Yogyakarta. Nah, kepada para anak dan cucu ini lah Sucipto menurunkan ilmunya: kerja keras dan kejujuran. "Sebab, saya tidak pandai, saya ini cuma bejo (untung)," kata Sucipto merendah.

(sudah dimuat di Kontan Edisi 5/V tanggal 23 Oktober 2000)

"Nasib TKW": Sebuah Balada Rakyat Indramayu

Oleh: R Kristiawan, Kompas, 26 Desember 2004

...Males temen nasib TKW, maksud ati pengen manggawe
Kanggo mbantu ekonomi keluarga
Mangkat kerja ning Saudi Arabia...
Bli digaji sampe taunan, awak rusak ilang kehormatan
Kaniaya nasibe wong ra duwe, nyawa TKW langka ragane....
Arep njaluk tulung ning sapa, Arabia jagate sapa
Yen wis inget wong ra duwe, rasa ngenes balik bli bisa

(Nasib TKW, Ciptaan Papa Irma)
(Terjemahan:
Kasihan sekali nasib TKW, maksud hati ingin bekerja
untuk membantu ekonomi keluarga
berangkat kerja ke Saudi Arabia...
tidak digaji sampai bertahun-tahun, badan rusak hilang kehormatan
teraniaya nasib orang miskin, nyawa TKW murah harganya
mau minta tolong pada siapa, Arabia dunia siapa
jika sudah ingat orang miskin, rasa sedih tidak bisa pulang)

Lara sih lara
Gara-gara mboke bocah
Lunga ning Saudi Arabia
Kula ning umah mong-mong bocah....

(Duda Kepaksa, Ciptaan Iip Bakir)
(Terjemahan:
Sakit sih sakit
gara-gara ibu anak-anak
pergi ke Saudi Arabia
Saya di rumah mengasuh anak)

TEKS di atas adalah petikan dari syair dua lagu bertemakan tenaga kerja Indonesia (TKI) dari Indramayu. Cobalah Anda melihat-lihat kios kaset di Pasar Indramayu. Di situ Anda akan menemukan kaset-kaset dangdut cirebonan dengan lirik berisi seputar nasib TKI. Karakter musiknya tersusun oleh inkulturasi antara musik tradisional Cirebon dan dangdut modern dalam beat mengentak. Di sebuah kios di Pasar Indramayu, ada sekitar lima kaset dengan masing-masing satu sampai dua lagu yang bertema TKI. Lirik lagu-lagu itu memaparkan sebuah fenomena sosial bertema TKI yang sangat memengaruhi tidak hanya kehidupan ekonomi, tetapi juga dinamika sosial kultural masyarakat Indramayu.

Sebagai sebuah teks, kedua lirik lagu itu tidak berdiri otonom, tetapi dilatari oleh konstruksi sosial kultural yang menjadi konteks dari teks tersebut. Stuart Hall, perintis cultural studies dari Birmingham School of Cultural Studies menegaskan bahwa sebuah teks dimaknai dalam tarik-menarik antara proses encoding dan decoding. Dalam proses encoding, kita akan memahami apa latar motivasi pembuat teks dan bagaimana konstruksi sosial kultural yang membentuk teks itu, sementara decoding akan menggiring bagaimana decoder menyusun makna. Dengan demikian, Hall meninggalkan tradisi Gramscian yang melihat pemaknaan teks dalam proses kekuasaan satu arah. Hall melihat bahwa teks hadir sebagai sebuah representasi sosial dan relasi antarkekuasaan.

Dalam khazanah pembahasan lirik lagu, konteks menjadi salah satu hal penting dalam memaknai lirik. Susan Donley (2001) melihat adanya keterkaitan yang kuat antara syair lagu dan realitas sosial. Dia membagi fungsi syair lagu menjadi tiga, yaitu fungsi literatur, fungsi dokumentasi sejarah, dan fungsi dokumentasi sosial. Fungsi literatur menekankan aspek tema dan pesan dalam syair. Fungsi dokumentasi sejarah melihat aspek tata nilai, kepercayaan, dan peristiwa dalam sebuah kurun waktu tertentu. Sementara fungsi dokumentasi sosial melihat aspek representasi tren, motivasi, dan pengalaman pembuat syair, serta untuk siapa syair itu dibuat.

Dari syair Imagine karya John Lennon, kita bisa memahami bagaimana latar politik Perang Vietnam. Demikian pula Song of Bangladesh yang dinyanyikan oleh Joan Baez bermakna sangat kuat sebagai sebuah deskripsi duka lara terhadap tragedi kemiskinan di Bangladesh. Syair opera-opera Giacomo Puccini pun sangat kental oleh konteks romantisisme aristokrat dan pertentangan kelas masyarakat Eropa abad ke-19. Lirik-lirik negro spiritual dibentuk oleh sejarah perbudakan di Amerika. Di balik syair Stasiun Balapan karya Didi Kempot juga tersimpan konteks besar di mana terjadi transisi peran dari perempuan Jawa yang domestik menjadi perempuan yang bepergian ke luar kota. Contoh-contoh di atas hanya ingin menegaskan betapa lirik lagu sangat tidak independen, tetapi saling tergantung dengan situasi sejarah aktual.

Berbeda dengan syair lagu Stasiun Balapan, syair-syair lagu rakyat dari Cirebon, Indramayu, dan sekitarnya di atas punya pesan yang lebih gamblang. Stasiun Balapan hanya bercerita tentang perpisahan seorang laki-laki dan perempuan tanpa kejelasan tujuan kepergian perempuan itu. Ini berbeda sekali dengan lagu-lagu cirebonan di atas. Papa Irma, sang pencipta lagu, dengan sangat jelas menceritakan nasib para TKI lewat lagu Nasib TKW. Kelugasan muncul lewat frase "kanggo mbantu ekonomi keluarga" (untuk membantu ekonomi keluarga). Pemilihan kata ekonomi secara paradigmatis menyajikan pilihan tentang kejujuran sosial yang telanjang. Rasanya sulit sekali menemukan kata ini dalam banyak syair lagu di Indonesia. Padahal, ekonomi menjadi salah satu sumber masalah penting bangsa ini. Syair tentang kisah klasik tidak dibayarnya gaji para TKI karena dirampas para agen di luar negeri juga tidak menyediakan ruang konotasi sama sekali. Lihatlah frase "bli digaji sampe tahunan, awak rusak ilang kehormatan" (tidak digaji sampai bertahun-tahun, badan rusak kehilangan kehormatan). Bukankah frase ini sangat representatif terhadap kisah-kisah pilu TKI yang pada masa pemerintahan baru ini tetap saja kita dengar?

KONSTRUKSI sosial ekonomi masyarakat Indramayu pinggiran terbangun lewat basis ekonomi agraris. Akan tetapi, hamparan luas sawah dan posisi Kabupaten Indramayu sebagai penghasil 30 persen produksi beras nasional tidak terlalu terasa bagi penduduk pinggiran. Akar persoalannya adalah kepemilikan tanah. 30 persen masyarakat adalah tuan tanah, sedangkan 70 persen lainnya adalah buruh tani. Lihat saja Dusun Sudimampir, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. Dusun ini sangat pekat oleh warna kemiskinan. Tidak ada pilihan bagi rakyat setempat untuk memilih profesi selain menjadi buruh tani. Dengan pola setahun dua kali panen, masyarakat harus hidup dalam roda sejarah yang senantiasa berbalut kemiskinan. Lagi pula untuk sekadar menyewa lahan pun mahal. Untuk menyewa tanah seluas satu bata (kira-kira 1.400 m2), mereka harus rela menyerahkan lima kuintal gabah kering hasil panenan, jumlah yang terlalu tinggi.

Di Balongan, tidak jauh dari Sudimampir, terdapat pabrik pengolahan minyak milik Pertamina. Pun bagi penduduk setempat, pabrik itu tetap saja asing. Cerobong asap hanya menyisakan kisah perubahan lahan pertanian menjadi kompleks pabrik.

Ceruk kemiskinan Sudimampir lebih terasa ketika kita menyusuri lorong-lorong kampung. Jalan-jalan tanah, orang tua yang sekadar duduk-duduk di depan rumah, anak muda laki-laki nongkrong di pojok kampung, kolam mandi dengan air kotor, orang tua laki-laki menambal ban sepeda tua karatan, semuanya menegaskan kisah kelu tentang kemiskinan yang terus merajut dalam sejarah masyarakat setempat.

Akan tetapi, semangat mempertahankan hidup menggurat garis sejarah baru. Garis itu dibuat oleh kisah para perempuan pemberani yang rela bekerja ke luar negeri meninggalkan sanak suami. Garis kisah itu mulai menggores sejak tahun 1997, ketika seluruh negeri terkoyak oleh badai ekonomi. Pun di Sudimampir, badai ekonomi itu membuat para wanita diliputi keberanian mengadu nasib.

Menjadi TKI adalah satu-satunya pilihan menuruti harapan perubahan nasib. Dengan membayar kepada "sponsor" (calo) sebesar Rp 1,5 juta, mereka berbondong-bondong mengadu nasib. Sebagian besar ke Timur Tengah. Gelombang ingar bingar migrasi pekerja itu kemudian meletakkan Kabupaten Indramayu sebagai salah satu pengirim terbesar TKI di seluruh Indonesia.

Risikonya memang besar, tetapi prospeknya juga besar. Jejak-jejak keberhasilan itu tercetak dalam bangunan-bangunan baru yang mudah ditemukan di Kecamatan Sliyeg. Bangunan itu berbahan luar keramik dengan desain rumah modern. Mudah sekali membedakan yang mana yang dibangun atas kiriman uang TKI atau bukan. Rumah hasil kiriman uang TKI biasanya berwarna cerah: pink, biru muda, hijau, cokelat terang, dengan kombinasi warna yang jauh dari konsep serasi. Rumah-rumah itu menyimpan kontradiksi besar. Lantai keramik mengilat itu bercampur dengan bau comberan di belakang rumah. Dikelilingi oleh tanah kering, kandang kambing, dan comberan, rumah-rumah itu bagai tidak tumbuh dari tanah kultural setempat. Akan tetapi, itulah simbol kepahlawanan 25 persen dari sekitar 2.500 perempuan Sudimampir. Jumlah penduduk Sudimampir mencapai 5.000 orang lebih.

Jejak kisah TKI yang lain adalah kisah pilu kegagalan. Dani (23) harus pulang dengan patah tulang kanan karena disiksa oleh majikannya di Arab. Seorang laki-laki dari Sudimampir Lor yang bekerja sebagai sopir di Arab bahkan harus pulang tanpa nyawa dua bulan lalu. Untung saja dia bisa dikubur di kampung halaman. Wunersih (25) dari Dusun Tugu, tetangga Dusun Sudimampir, baru saja tiba di rumah tanggal 7 Desember 2004 lalu. Tujuan kepergiannya bulan April 2004 lalu adalah Yordania. Akan tetapi, agen di luar negeri mengirimnya ke Baghdad, Irak. Nasibnya sial. Majikannya menuduhnya mencuri uang sekitar Rp 12 juta hingga menyiksanya. Gajinya pun tidak dibayarkan. Ia berhasil melarikan diri setelah disekap di kamar. Di antara desingan peluru dan ledakan bom, Wunersih berjalan menyusuri pinggiran kota Baghdad. Sepanjang perjalanan itu ia harus meminta makanan di masjid-masjid yang ia temui. Akhirnya ia menemukan polisi yang kemudian mengirimnya ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Irak.

Tanah Air ternyata tidak menjamin solidaritas sosial. Sampai di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, petugas meminta uang padanya untuk biaya perjalanan ke Indramayu. Ia memberi Rp 190.000. Sopir di jalan pun masih memintanya uang yang kemudian ia beri Rp 50.000. Belum cukup, paspornya sampai sekarang juga ditahan oleh petugas berseragam di Bandara tanpa alasan jelas. Semua identitas pribadi dalam paspornya juga tidak palsu. Para petugas itu mungkin tidak tahu bahwa ekspor tenaga kerja menghasilkan devisa bagi Indonesia rata- rata sebanyak 1,6 miliar dollar AS per tahun.

ANAK-anak dan laki-laki adalah subplot dalam kisah ini. Di jalan-jalan kampung Sudimampir, ada semacam becak berhiaskan naga merah disertai tape recorder yang selalu memutar lagu dangdut. Becak itu berisi sekitar sepuluh anak berusia di bawah dua belas tahun. Satu di antara anak-anak itu mungkin tidak pernah merasakan air susu ibunya. Biasanya anak-anak itu diasuh oleh nenek atau bibinya sepeninggal ibunya ke Arab Saudi. Jumlah anak-anak bernasib seperti ini ada sekitar 70 anak di Dusun Sudimampir. Kalau ayah dari anak-anak ini adalah ayah yang baik, ayah inilah yang mengasuh mereka selepas kerja menjadi buruh tani. Lagu Duda Kepaksa ciptaan Iip Bakir lagi-lagi dengan gamblang menceritakannya. Lara sih lara, gara-gara mboke bocah lunga ning Saudi Arabia. Kula ning umah mong-mong bocah....

Akan tetapi, penggalan syair itu hanya menceritakan sepenggal cerita normatif tentang laki-laki yang ditinggal istri. Itu adalah contoh suami setia yang setia mengasuh anak-anaknya. Selain mengasuh anak, yang setia ini biasanya berkumpul pada malam-malam tertentu sambil membakar ayam (mayoran). Mereka mendirikan "organisasi" bernama Ikatan Duda Arab (Idara).

Yang tidak setia punya dua pilihan: menghamburkan duit kiriman istri di diskotek dan/atau kawin lagi. Yang dimaksud dengan diskotek adalah semacam kafe remang yang memutar lagu-lagu dangdut. Karena tidak tahan ditinggal istri, para suami ini sering kawin lagi. Menjadi masalah kalau istri mudanya pun akhirnya menjadi TKI. Laki-laki semacam ini ini harus pandai mengatur waktu pulang istri tuanya agar tidak bertabrakan dengan jadwal kedatangan istri mudanya.

Diskotek rupanya menjadi fenomena menarik. Di pinggir- pinggir jalan tersembul kafe remang dengan bunyi musik dangdut disertai aksesori tawaran kenikmatan kedagingan. Perempuan menjadi sangat responsif karena pada Duda Arab ini biasanya berkocek tebal. Di sanalah duit kiriman istri akan berkecamuk dengan lampu remang, alkohol, dan lendir duniawi.

KEKUATAN representasi sosial dalam syair lagu-lagu rakyat Indramayu dibentuk oleh dua hal, yaitu realitas sosial itu sendiri dan tradisi kesenian yang kuat di masyarakat bawah. Di Kecamatan Sliyeg dengan mudah kita bisa menemukan beberapa kelompok drama rakyat yang sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu. Sutana (58), misalnya, pemimpin kelompok drama Mayang Sari, sudah bermain drama sejak tahun 1961. Kelompok drama ini masih hidup sampai sekarang meski sesudah 1997 relatif sepi tanggapan. Kisah-kisah yang biasanya dipanggungkan berasal dari tradisi penyebaran agama Islam, khususnya oleh Sunan Gunung Jati selain legenda lokal.

Ekspresi musikal rakyat setempat juga tinggi. Setiap aktivitas publik sekecil apa pun, pasti disertai oleh musik rakyat. Mendorong dagangan, mengasuh anak di becak, kredit keliling, semuanya disertai iringan musik. Kelompok organ tunggal juga bertebaran yang ditandai oleh puluhan papan reklame di pinggir jalan kecamatan.

Realitas sosial dan tradisi seni ini rupanya menjadi bahan bakar dasar dari produksi lirik lagu-lagu rakyat Indramayu. Harapan, duka lara, kegembiraan, dan keputusasan dalam lagu-lagu itu sebenarnya merupakan salah satu bentuk jeritan dari mereka yang sering disebut pahlawan devisa, tetapi sampai pemerintahan baru ini pun tidak tertangani sebagaimana mestinya.

Senok... aja nangis... (Nak... jangan menangis...)
Kelangan mimi ya nok ya (Kehilangan ibu ya nak ya)
Sebab mimi lagi usaha (Sebab ibu sedang berusaha)
Sedelat maning arep teka (Sebentar lagi akan datang)

R. Kristiawan Peneliti di Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta, dan Penyanyi Tenor

* Tulisan ini berdasarkan pada survei lapangan Yayasan SET pada awal Desember 2004.

Quick Count dan Refleksi Historis atas Bantuan Asing

Oleh R Kristiawan

PENGHITUNGAN cepat (quick count) terhadap hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2004 yang dikerjakan LP3ES di bawah donasi National Democratic Institute (NDI) dan UNDP memancing banyak tanggapan. Tanggapan paling keras datang dari Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, yang menghubungkan quick count itu dengan nasionalisme dan independensi bangsa. Pada wilayah kesadaran yang lain, Todung Mulya Lubis menganggap adanya hipokrisi pada pemikiran Kwik Kian Gie, karena donasi asing itu juga diterima oleh pemerintah, selain LSM yang selama ini dituduh menjual bangsa.

Kritik Kwik Kian Gie itu berada dalam koridor kritis mengenai relasi antarnegara. Secara teoretik, pemikiran itu sama dengan pemikiran Antonio Gramsci, penggagas teori hegemoni dari Italia. Gramsci berpendapat, relasi antarbangsa tidak bisa lepas dari motivasi ideologis, di mana negara kuat selalu berupaya mencangkokkan kekuasaannya ke negara yang lebih lemah. Johann Galtung juga berada dalam paradigma yang sama saat melihat relasi internasional. Secara lebih tegas, Galtung melihat adanya ketergantungan negara-negara periferal kepada negara-negara pusat.

Tema bantuan asing yang diributkan saat ini sebenarnya sudah berakar kuat dalam sejarah Indonesia dari era Soekarno sampai Orde Baru. Tulisan ini hendak mengupas kilasan sejarah itu dan melihat posisi bantuan asing pada era sekarang.


Dalam Pembangunan

Dalam konteks sejarah pemikiran Indonesia, Soekarno menjadi pelopor dari kritik terhadap dominasi internasional. Sebagai reaksi terhadap kolonialisme, Soekarno meletakkan dasar-dasar pemikiran mengenai nasionalisme. Berbeda dengan Gramsci yang meletakkan pemikiran dominasi internasional itu dalam kerangka konflik kelas, Soekarno meletakkannya dalam kerangka identitas nasional dan proses nation building.

Selepas era kolonialisme, Soekarno kemudian menumpukan pemikirannya pada perlawanan terhadap negara-negara maju yang berupaya mempengaruhi geopolitik dunia lewat sarana bantuan asing. Ungkapan Soekarno yang terkenal, go to hell with your aid, sangat kuat menggambarkan penolakan Soekarno pada bantuan asing itu. Penggalangan solidaritas Asia-Afrika tahun 1955 adalah bagian dari strategi politik Soekarno untuk melawan pengaruh Utara.

Selain memori mengenai kolonialisme, kritik terhadap bantuan asing pada masa Soekarno juga dilatari oleh ketegangan ideologis internasional antara kubu liberal dan komunis. Strategi umum politik internasional pada waktu itu adalah upaya memasukkan satu negara ke dalam kedua blok ideologi itu. Dalam kesadaran politik kritis, sosialisme menjadi lebih dekat bagi kesadaran Soekarno pada masa itu.

Maka, tak heran kalau kemudian Soekarno lebih dekat dengan Cina daripada Amerika. Dalam kerangka konflik internasional seperti inilah sebenarnya politik luar negeri Amerika Serika lewat bantuan luar negeri itu muncul. Strategi itu muncul dalam wujud paket pembangunan ekonomi.

Dihadapkan pada negara-negara baru pasca-kolonialisme, Amerika merasa perlu menyikapi keadaan itu dalam kerangka kompetisi ideologis dengan Uni Soviet. Negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia-Afrika itu pada umumnya miskin. Padahal, komunisme mudah tumbuh subur di daerah miskin. Hal itu tentu sangat mengkhawatirkan Amerika.

Dalam pidato pelantikan presiden pada 20 Januari 1949, Presiden Harry Trumann meluncurkan era pembangunan bagi negara-negara yang baru merdeka itu. Trumann membagi negara-negara ke dalam tiga kategori, yaitu negara terbelakang (underdeveloped), negara sedang berkembang (developing), dan negara maju (developed).

Parameter yang dipakai dalam mengategorikan kondisi suatu negara adalah capaian ekonomi kuantitatifnya lewat indikator pendapatan per kapita (PCI), pendapatan nasional (GNP), dan pertumbuhan ekonomi nasional. Paket pembangunan itu linier dengan modernisasi yang dikerahkan di Asia dan Afrika.

Proses utama yang diperlukan dalam program itu adalah pertumbuhan ekonomi seperti dipikirkan oleh WW Rostow dan JM Keynes dari mashab neoklasik. Modal utama dari proses itu adalah ketersediaan investasi modal. Untuk itulah bantuan asing dari Amerika dan negara-negara maju secara besar-besaran disuntikkan ke negara-negara berkembang ini. Dari sinilah sejarah mengenai bantuan asing itu berawal. Dalam kacamata kritis, inilah era politik soft power yang men- jadi metamorfosa imperialisme.

Sikap politik Soekarno berada dalam posisi diametral dengan angin politik ekonomi yang bertiup dari Utara itu. Penyebabnya, apalagi, kalau bukan sikap keras Soekarno terhadap bantuan asing yang menurutnya menjadi bagian dari agenda neoimperialisme. Karena itulah bantuan asing tidak pernah datang pada era Soekarno sampai akhir hayat pemerintahannya yang disertai tumpukan masalah ekonomi.

Bantuan asing baru mengalir deras ke Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Soeharto secara bulat-bulat mengadopsi program pertumbuhan ekonomi. Selain menerima bantuan dari Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia, Soeharto juga menunjuk ekonom-ekonom pro-pembangunan sebagai arsitek ekonomi Orde Baru. Selain mengalir ke pemerintahan, bantuan asing juga sedikit mengalir ke kelompok LSM generasi pertama yang juga berpaham developmentalis.

Penerapan ideologi pembangunan oleh Soeharto menjadi titik penting dalam konteks Perang Dingin. Inilah sejarah ketika secara politik kekuatan komunis di Indonesia dibenamkan sampai titik nol pada tahun 1965 dan secara ekonomi diterapkan program pembangunan. Program pembangunan menandai mulainya era kapitalisasi di Indonesia yang bertumpu pada bantuan asing.

Bantuan asing juga menjadi kekuatan penting bagi politik Soeharto selain militer dan birokrasi. Salah satunya karena 30 persen bantuan asing itu menjadi sumber ke- kuatan kroninya lewat praktik korupsi birokratis seperti disinyalir oleh almarhum Prof Soemitro Djojohadikusumo.

Di kawasan Asia, bantuan asing itu menjadi faktor penting dari keajaiban Asia pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an, saat krisis ekonomi mulai. Krisis ekonomi di Indonesia menjadi titik balik penting saat semua orang mulai sangat kritis pada bantuan asing. Batuan asing diposisikan sebagai sumber dari masalah ekonomi balon (bubble economy) yang langsung meletus saat tertusuk jarum.


LSM

Wacana mengenai bantuan asing saat ini banyak dihubungkan dengan keberadaan LSM yang memang banyak mendapat dana dari luar negeri. Sinisme yang ditampilkan pada LSM muncul lewat ungkapan menjual bangsa, orientasi proyek, menjual kemiskinan, dan lain-lain. LSM diposisikan sebagai perpanjangan tangan dari agenda ekonomi politik internasional ke Indonesia.

Ada dua kelompok pengkritik utama LSM, yaitu pemerintah dan kelompok berideologi kelas. Pemerintah sering menabuh genderang perang terhadap LSM karena dalam banyak kasus, LSM menjadi pengkritik kebijakan pemerintah, misalnya pada persoalan HAM dan lingkungan. Sementara kelompok berideologi kelas menghubungkan keberadaan LSM dengan agenda ekonomi politik internasional bernama neoliberalisme.

Dalam konteks Pemilu 1999 dan 2004, bantuan asing mengalir ke pemerintah dan LSM sekaligus. KPU menerima dana dari luar negeri, demikian juga kelompok LSM Pemilu seperti Koalisi Media, Cetro, LP3ES, LSI, dan jaringan para pemantau. Dalam banyak hal, keberadaan LSM itu menjawab kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dilakukan pemerintah dan partai, misalnya pendidikan politik, sosialisasi tata cara memilih, dan mendorong munculnya presiden yang benar-benar aspiratif.

Secara umum, bantuan asing sudah masuk ke dalam banyak sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pemerintah sudah berutang besar-besaran sejak awal Orde Baru. LSM-LSM juga menerima bantuan lewat berbagai program. Secara realistis objektif, bantuan asing harus kita akui berpengaruh dalam dinamika sosial politik Indonesia. Kesadaran semacam itu memerlukan penyikapan yang komprehensif dan tidak melulu ideologis hitam putih.

Akan tetapi kesadaran politik kita memang masih banyak dilumuri agenda mencari kambing hitam. Saat kebanjiran utang, kita mengutuk para pengutang, bukannya melunasi atau dengan tegas menghukum para koruptor penyeleweng utang itu. Kita mengusir Sidney Jones, bukannya berkaca dengan jernih tentang pelanggaran HAM di Aceh. Kita mengutuk intervensi asing atas nama nasionalisme, tetapi di saat yang sama mau menerima uangnya. Memori bangsa ini masih diliputi trauma pada kolonialisme yang mengidentifikasi orang kalau tidak sebagai penjajah, ambtenaar, atau wong cilik.

Sikap berang berlebihan sekaligus hipokrit pada quick count LP3ES dan NDI adalah salah satu contohnya.


Penulis adalah peneliti pada Departemen Riset Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Jakarta.

(sudah dimuat di Suara Pembaruan 13 Juli 2004)

Mediasi: Fakta Pascahegemoni

Oleh R. Kristiawan

Pada suatu senja cerah di sebuah warung makan tepi selokan Mataram Yogyakarta, segerombolan anak muda tampak ribut mengobrol. Dandanan mereka seperti layaknya anak metropolis. Yang cewek berkaos ketat lengan mepet hingga seluruh ubuhnya tampak penuh sementara para cowoknya pakai jeans dengan berbagai asesori. Sambil ngobrol, mereka menikmati ayam goreng. Warung itu secara geografis tidak istimewa. Namun penampilan warna telah membedakannya dengan warung makan Yogya pada umumnya. Dinding warung itu dicat kuning berbaur merah. Lampunya juga terang benderang seperti mall. Di depan warung itu terpampang board cukup mencolok: Kentuku Fried Chicken.

Beberapa waktu terakhir, Yogyakarta disemarakkan dengan hadirnya rumah makan (tepatnya warung makan) khusus ayam goreng. Namanya lucu-lucu dan bermacam-macam. Ada Yogya Fried Chicken, Kentuku Fried Chicken, dll Warung itu bisa hadir di mana-mana. Bisa di tepi jalan besar atau juga menjorok masuk kampung. Kalau diamati, secara simbolik perilaku mereka mengacu pada satu tema yaitu franchise ayam goreng Amerika semacam McDonald atau Kentucky Fried Chicken. Lihat saja bagaimana mereka memilih nama warung yang cenderung memlesetkan perusahaan asing sampai bagaimana mereka mendesain tempat dan memilih warna. Warna warung biasanya warna cerah didominasi merah, biru cerah dan kuning : warna Amerika. Tampilan ayam gorengnya sepintas sama dengan ayam goreng impor. Daging ayam itu digoreng garing dengan selimut tepung.

Kira-kira delapan tahun lalu, saat masyarakat terkena demam sepeda gunung ala Amerika, orang Yogya malah ramai-ramai berburu sepeda unta dari Prambanan dan Gunung Kidul kemudian menyulapnya menjadi sepeda ‘kota’ berwarna metalik cerah seperti sepeda gunung. Biasanya pada malam Minggu, rombongan sepeda itu akan memenuhi jalanan utama Yogyakarta. Tak ketinggalan para pengendaranya menyertakan seragam kain sorjan lurik Pasar Beringharjo dan helm mandor jaman Belanda. Dengan penuh percaya diri mereka membunyikan bel sepanjang jalan sambil tertawa ramai-ramai. Dari dua fakta menarik itu, saya sejenak menjadi tidak mengidolakan Gramsci dan bertanya: Benarkah hegemoni ada? Saat membaca Selection from the Prisoner’s Notebooks (1979) tiga tahun lalu, saya terkesima pada halaman 21 saat Antonio Gramsci mengulas dengan terang bagaimana hegemoni bisa terjadi saat instrumen koersif dan instrumen ideologis sudah dipegang penguasa. Apalagi saat Joseph V. Femia lewat Gramsci’s Political Thought (1981) semakin memperjelas pikiran Gramsci yang agak rumit itu, saya menjadi semakin terkesan pada konsep aktivis partai komunis asal Sardinia itu. Ditambah lagi saat beberapa pemikir cultural studies mencangkok ide hegemoni dalam konteks kebudayaan modern dalam relasinya dengan kapitalisme, konsep hegemoni yang semula lebih condong pada konteks politik militeristis (Italia) menjadi lebih kaya dan tajam setelah dikontekstualisasikan dengan kuasa modal. Salah satu inti pemikiran Gramsci adalah terciptanya ketaatan moral, intelektual dan afektif karena dikehendaki oleh kekuatan struktur ekonomi dan politik. Dalam konteks peradaban modern, kebudayaan dominan dengan demikian merupakan hasil penaklukan kapitalisme terhadap aktivitas kebudayaan manusia. Bahkan jika dibandingkan dengan aparat modernisme yang lain—militer, birokrasi, dan borjuasi lokal—kapitalisme tetap menjadi ujung tombaknya. Gramsci melihat secara kritis bahwa kekuatan struktur ekonomi dan politik itu akan semakin meminggirkan ekspresi yang tidak berada di dalam jaringan penaklukan. The winner takes all.

Dalam konteks hubungan antar negara, konsep Gramsci itu mempengaruhi munculnya teori imperialisme budaya seperti yang pernah dilontarkan ahli komunikasi Belanda Cees Hamelink. Melalui jembatan pembangunanisme, Barat telah melakukan penetrasi besar-besaran dalam kehidupan ekonomi negara dunia berkembang hingga berujung pada globalisasi saat ini. Relasi dalam globalisasi adalah manifestasi ekspansi ekonomi transnasional dalam semangat dasar kapitalisme. Kepentingannya beragam mulai dari penaklukan ekonomi sampai ekspanasi pasar. Karena ekspansi ekonomi dan politik inheren dengan ekspansi kebudayaan, maka tikda bisa tidak kebudayaan akan cenderung mendukung kebijakan ekonomi dan politik itu. Ambil contoh bagaimana simbol-simbol kemakmuran seperti handphone dan McDonald telah menghinggapi sebagian besar kelas perilaku menengah Asia Tenggara pertengahan 90-an seiring dengan orientasi pertumbuhan ekonomi mashab neoklasik seperti yang pernah diulas oleh Richard Robison dalam New Rich in Asia (1994). Selain itu muncul pula gejala dimana dipakainya secara besar-besaran simbol-simbol kebudayaan negara maju karena mitos kemakmuran cenderung membuat orang melakukan aktivitas kebudayaan menurut citra kemakmuran itu. Kadang tidak rasional secara material. Ayam goreng McDonald menjadi laris manis dan punya image tinggi bukan karena substansi material yaitu kelezatan ayamnya tetapi terlebih karena simbol kelas McDonald itu membuat konsumen mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari golongan kelas atas pada saat mereka mengkonsumsi ayam itu. Bukan lagi konsumsi material yang penting namun konsumsi simbol yang berhubungan dengan mitos identitas dan kenyamanan kelaslah yang menjadi pertimbangan konsumsi. Padahal, lihat saja betapa tidak kayanya bumbu ayam McDonald dibanding Ny. Suharti. Paul Ricoeur bilang, selera dan estetika itu ideologis. Parameter tentang keindahan dan kelezatan cenderung punya sentimen mendukung kelas dominan.

Dalam cara pandang hegemonian, kebudayaan global akan bersifat tunggal karena watak kapitalisme yang monolitik. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar. Tidak ada celah lagi untuk menjadi independen secara simbolik karena rekayasa elitis yang terlanjur disepakati oleh moralitas, kognisi, dan afeksi masyarakat bawah. Padahal ketiga faktor inilah yang terpenting dalam memproduksi simbol. Kebudayaan lokal yang tidak marketable akan terpinggirkan karena desakan kultur asing yang sangat profit oriented. Pertanyaan kritis lalu muncul. Seberapa jauhkah masyarakat luas (crowd) akan menyerahkan identitasnya pada kekuasaan dominan? Apakah masyarakat dengan begitu mudahnya akan bertindak sangat pasif sehingga tidak mampu lagi melakukan resistensi? Dalam kaca mata Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu daya bisa mematikan kesadaran resistensi masyarakat. Dalam kondisi hegemoni, orang tidak akan punya kekuatan kritis lagi. Semuanya serba pesimis. Apakah sesederhana itu? Soeharto pada pertengahan masa orba sampai menjelang ajalnya tampil sebagai penguasa yang ditakuti. Ia—seperti halnya Lee Kuan Yew—punya prinsip lebih baik ditakuti daripada dicintai. Siapa orang yang berani terang-terangan menentang Soeharto waktu itu? Dalam tataran politik praktis mungkin tidak ada. Namun dalam ranah kultur keseharian, apakah Soeharto benar-benar absolut? Jawabnya tidak. Di tingkat bawah, orang sudah muak dan kemuakan itu muncul dalam berbagai bentuk resistensi. Resistensi yang paling sederhana adalah humor. Subversi kecil-kecilan itu paling tidak akan memunculkan rasa bahwa mereka tidak terkuasai. Kita bisa melihat berapa banyaknya humor-humor politik yang hidup subur di masyarakat dan cepat menyebar. Semuanya bernada kritis pada penguasa. Kondisi ini mirip Rusia pada masa Kruschev. Kalau ekspresi politik resmi tidak bisa disalurkan, jalur kultural siap menampungnya. Dalam banyak kisah sejarah terbukti, hegemoni tidak pernah ada. Gramsci dan raja Mataram sama gagalnya. Kekuasaan yang bulat utuh hanyalah ilusi Hamengkubuwono yang hanya bisa mengatupkan kedua ibu jarinya—saat posisi resmi—membentuk bulatan kosong sebagai lambang dunia yang bisa ia pegang. Buktinya, Mataram tidak pernah benar-benar menguasai seluruh dunia. Soeharto pun tidak pernah menelan Indonesia secara bulat-bulat. Masih ada serpihan resisten di sana-sini bahkan saat kekuasaan tampil dengan pongah.

Dalam dunia kebudayaan populer perdebatannya semakin ramai. Kalau diambil asumsi bahwa globalisasi—wajah lain dari kapitalisme internasional—telah melakukan penetrasi kultural ke segala mata angin dunia, maka seharusnya ekspresi kebudayaan dunia akan bermuka tunggal dalam satu kontrol. Tapi rumus hegemonian itu tidak sepenuhnya bekerja dengan baik. Cara padang ofensi versus resistensi terasa terlalu sederhana apabila dilihat dinamika budaya yang tidak sefrontal itu. Saat musik rap Amerika menjalar ke seluruh negeri, orang Indonesia khawatir musik domestik akan hilang. Namun apa yang terjadi. Tidak dalam rangka menentang rap, Iwa K. malah melakukan terobosan dengan membuat rap dalam lirik bahasa Indonesia. Begitu juga saat banyak orang Jawa khawatir pada serbuan musik pop, Jadug Ferianto dan Manthous malah membuat gamelan dalam tangga nada diatonis, tidak lagi pentatonis. Dalam struktur diatonis, lagu apapun dari negeri manapun akan bisa dibawakan dalam timbre gamelan yang khas Jawa. Belakangan kedua tokoh Yogya itu menjadi tersohor karena mampu mengahdirkan musik pop Jawa yang sinkretik dengan Barat. Eddy Kempot dari Solo yang punya paradigma serupa bahkan tersohor di Suriname. Kasus ayam goreng Yogya, sepeda onthel, kaos oblong Yogya juga ada dalam kerangka alur yang sama. Orang-orang itu bukanlah tokoh revolusioner dalam impian Gramsci yang akan menentang segala bentuk ofensi. Mereka hanya memadukan segala unsur, dan itulah realitas politik kebudayaan pada umumnya. Ekspresi kebudayaan tidak bisa disederhanakan ke dalam kotak apa pun termasuk kelas. Bahwa perspektif kelas bisa membantu melakukan analisis itu benar. Namun menggantungkan analisis hanya pada satu instrumen kelas saja akan sangat reduksionis dan dangkal. Kadang ekspresi tidak butuh ideologi. Estetika bisa saja menjadi determinan.
Nah, lalu di manakah posisi media dalam konstelasi ini ? Menurut paradigma hegemonian, media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. Benarkah media massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi ? Tidak. Bahkan istilah media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di sanalah segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu. Hasil interaksi antar simbol itu akan bersintesis dan menemukan bentuk ekspresi baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum yang amat luas dan tidak melulu hegemonik. Contoh-contoh di atas adalah buktinya. Mediasi terasa lebih kaya dan jernih dibanding hegemoni. Namun perlu dicatat, seluruh ekspresi itu tidak bisa lepas dari jual beli.


(sudah dipublikasikan di Newsletter KUNCI No. 8, September 2000)