Wednesday, October 06, 2021

SAP 6: Teori Media dan Industri

Redemptus Kristiawan/2106682685

 

Pertanyaan penelitian: Bagaimana menjelaskan kondisi perlindungan terhadap jurnalis dalam sistem pers bebas di Indonesia?

 

Rapporteur sans Frontièr (RSF/Jurnalis Lintas Batas), sebuah lembaga nirlaba di Paris, setiap tahun mengeluarkan indeks kebebebasan pers seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2021, Indonesia berada di ranking 113 dari 179 negara.[1] Indonesia pernah menjadi negara dengan kebebasan pers terbaik se-Asia pada tahun 2001, namun setelah itu selalu berada pada posisi yang tidak bagus.  Fokus indexing RSF ada pada aspek keamanan jurnalis saat meliput. Indexing oleh RSF tersebut tidak terlalu mengherankan jika dibandingkan dengan data kekerasan terhadap jurnalis Indonesia yang dihimpun oleh Aliansi Jurnalis Independen dan LBH Pers. AJI mencatat sepanjang tahun 2021 ada 25 kasus kekerasan yang dilaporkan dengan berbagai sebab dan aktor pelaku. [2]

 

Data di atas jika ditarik lebih dalam akan menarik terutama jika dihubungkan dengan proses demokratisasi media yang berlangsung sejak 1999. Pertanyaan mendasarnya adalah siapa saja yang diuntungkan secara ekonomi politik dalam proses demokratisasi itu. Tulisan ini berargumen bahwa proses demokratisasi media yang secara normatif tampak indah itu sebenarnya lebih banyak menguntungkan imperatif bisnis daripada aspek perlindungan terhadap jurnalis dan jaminan hak-hak jurnalis. Ada sebuah paradoks karena proses demokratisasi media itu pada awalnya dimotori oleh jurnalis yang juga bertindak sebagai aktivis, namun pada akhirnya proses itu tidak berpihak pada mereka.

 

Setelah kasus pembreidelan Tempo, Editor, dan Detik pada tahun 1994 akibat pemberitaan tentang pembelian kapal perang bekas Jerman Timur, para jurnalis melakukan konsolidasi untuk melawan Orde Baru. Aliansi Jurnalis Independen dideklarasikan dan terbit majalah bawah tanah Independen. Perjuangan itu berhasil lewat disahkannya UU Pers No. 40/1999 yang memenuhi standar demokrasi global.

 

Segera setelah disahkannya UU Pers, terjadi booming bisnis pers cetak karena penghapusan mekanisme SIUPP. Pada tahun 2001, tercatat ada 1.659 perusahaan pers yang terdata di Dewan Pers.[3] Profesi jurnalis pun menjadi profesi yang seolah terbuka bagi siapa saja tanpa persyaratan yang memadai. Di sini kita mengenal fenomena wartawan bodrex yang tidak berkualitas dan korup.

 

Ada sejumlah indikator paradoks kebebasan pers di Indonesia antara lain, masih minimnya jaminan keamanan pada jurnalis, tingkat pendapatan jurnalis yang masih rendah, dan kebebasan berserikat yang belum dijamin perusahaan pers. Sementara belanja iklan nasional terus saja naik mencapai Rp 122 triliun di tahun 2020 (Nielsen, 2020). Pada aspek keamanan jelas masih ada kasus pembunuhan terhadap jurnalis dan berbagai kekerasan lain baik fisik maupun simbolik. Dari sisi pendapatan, tingkat gaji reporter pada tahun 2006 antara Rp 200.000,- sampai dengan Rp 2.600.000,-. Kebebasan mendirikan serikat pekerja pers juga masih terbatas pada angka 35 perusahaan. (Kristiawan, R., 2012).

 

Dalam aspek keamanan bagi jurnalis, yang tidak maksimal dijalankan oleh Indonesia adalah mekanisme struktural di mana negara benar-benar berkomitmen terhadap keamanan bagi jurnalis. Memang ada sistem pelaporan kasus di Dewan Pers. Akan tetapi proses itu belum berjalan maksimal. Advokasi terhadap kasus terkait keamanan dan kekerasan masih mengandalkan aktor masyarakat sipil. (International Media Support, 2017).

 

David Hasmondalgh berpendapat bahwa isu media work menjadi isu yang kurang diperhatikan jika dibandingkan dengan isu organisasi dan kepemilikan. Kondisi ini mirip dengan yang terjadi di Indonesia pada aspek keamanan terhadap jurnalis. Advokasi isu keamanan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan isu profesionaisme, etika jurnalistik, dan pelaporan isu-isu sektoral. Inisiasi program keamanan bagi jurnalis di Indonesia baru dilakukan April 2019 melalui pendirikan Komite Keamanan untuk Jurnalis.

 

David Hesmondalgh mengutip penelitian Gillian Ursell tentang hasil riset pekerja televisi.

 

Research on television workers, for example, applied Foucauldian insights to work in the creative or cultural industries, showing how ‘pleasure, self-expression, self-enterprise and self-actualisation ... seem to be at the heart of explanations of why people want to work in the media’ (Ursell, 2006, p. 161; see also Ursell, 2000).

 

Kondisi di atas mirip dengan apa yang terjadi industri televisi di Indonesia pada awal 2000-an ketika terjadi pertumbuhan minat untuk berkarir di industri televisi. Akan tetapi fenomena itu sebenarnya tidak mencerminkan realitas ekonomi para pekerja televisi itu karena tingkat pendapatan yang kurang memadai terutama di level pemula, apalagi jika dibandingkan dengan kondisi ekonomi para pekerja pers cetak dan digital. Ada proses lebih besar sedang terjadi yaitu ekspansi kapitalisme global yang berkepentingan pada perluasan cakupan belanja iklan global yang juga mencerminkan ketimpangan antar negara.

 

McChesney mencatat bahwa iklan merupakan proses sentral di balik perluasan program media dan kepemilikan media. Pertumbuhan bisnis penyiaran dan iklan merupakan bagian integral dari perluasan pasar global. Pada tahun 1995, empat puluh perusahaan iklan terbesar di dunia yang berada di Eropa Barat, Jepang, dan Amerika Serikat membelanjakan 47 miliar US$ dimana 26 miliar US$ dibelanjakan di luar Amerika Serikat. Jumlah ini meningkat 20% dari belanja iklan tahun 1994. Pada tahun 1970, persentase iklan Amerika adalah 60% sedangkan pada tahun 1995 47%. Artinya, telah terjadi perluasan kue iklan di luar belanja iklan Amerika Serikat. McCann-Erickson memperkirakan bahwa iklan global akan naik dari 335 milar US$ pada tahun 1995 menjadi 2 triliun US$ pada tahun 2020. Asia, Amerika Latin, dan Eropa Timur merupakan kawasan pertumbuhan belanja iklan, sementara Amerika Utara akan mengalami stagnansi. Kebanyakan pertumbuhan itu mengandalkan media televisi, sementara koran dan majalah akan mengalami penurunan persentase. (McChesney, 1997, dalam Kristiawan, R., 2012). Dalam digitalisasi media, proses yang sama juga sedang berjalan.

Paradoks yang saya sampaikan ada pada ketimpangan antara pertumbuhan industri media dengan perlindungan terhadap jurnalis. Proses demokratisasi media – yang pada intinya adalah liberalisasi – yang pada awalnya diawali oleh para jurnalis dibajak di tengah jalan oleh industri media melalui pembatasan hak-hak jurnalis terkait hak berserikat, rendahnya indeks kebebasan pers di Indonesia, tingkat kesejahteraan jurnalis yang rendah yang memicu fenomena wartawan bodrex, masih adanya kasus kekerasan terhadap jurnalis yang salah satu sebabnya adalah rendahnya pembakalan teknis oleh perusahaan media. Sementara itu, belanja iklan terus naik tanpa mempedulikan kondisi-kondisi jurnalistik dan jurnalisme.

Dalam proses demokratisasi media itu terjadi proses konsolidasi industri yang pada ujungnya adalah akomodasi structural adjustment kapitalisme global pada sistem industri media nasional. Dalam beberapa kasus kita menjumpai juga situasi dimana sistem media nasional tidak sesuai dengan kaidah demokrasi, misalnya dalam kasus dominasi kepemilikan media penyiaran analog. Jadi dalam proses ekonomi politik industri media sampai saat ini, imperatif bisnis terbukti menjadi pemenang jika dibandingkan dengan jurnalis dan jurnalisme.

 

Referensi

Hesmondalgh, David, Media Industry Studies, Media Production Studies

Herman, Edward S., McChesney, Robert,.  (1997) The Global Media, The New Missionaries of Corporate Capitalism, Cassel, London&Washington

International Media Support (2017), Defending Journalism, Copenhagen

Jessop, Bob., Sum, Ngai-Ling (2013), Towards a Cultural Political Economy Putting Culture in its Place in Political Economy, Massachusetts

Kristiawan, R., (2012), Penumpang Gelap Demokrasi, Aliansi Jurnalis Independen, Jakarta

 



[1] https://rsf.org/en/ranking

[2] https://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1.html

[3] https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers