Wednesday, September 15, 2021

Kekerasan terhadap Jurnalis dalam Perspektif Kapital dan Arena

Redemptus Kristiawan/2106682685

 

Pertanyaan Penelitian: Bagaimana menjelaskan kasus kekerasan terhadap jurnalis dengan menggunakan perspektif kapital dan arena?

 

 

Meskipun secara legal Indonesia sudah memiliki sistem pers yang bebas melalui UU No. 40/1999, namun apresiasi terhadap profesi jurnalis masih tergolong rendah. Salah satu indikatornya adalah kekerasan terhadap jurnalis yang masih saja terjadi, bahkan sampai pada tindakan pembunuhan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat bahwa pada tahun 2020 ada 84 kasus. Sementara di tahun 2021 sampai bulan Agustus ada 24 kasus. Menarik untuk dilihat bahwa pada tahun 2020, mayoritas pelaku kekerasan adalah polisi sebanyak 55 kasus (Aliansi Jurnalis Independen, 2021 https://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1/10.html). Termasuk dalam kategori kekerasan itu adalah kekerasan simbolik misalnya ancaman verbal, intimidasi, dan serangan digital. Di sini relevansi pemikiran Pierre Bourdieu soal kekerasan simbolik menjadi relevan, meskipun kekerasan fisik juga masih terjadi.

 

Tulisan ini melihat bahwa kekerasan terhadap jurnalis berhubungan dengan kontestasi antar kapital oleh berbagai aktor dalam arena jurnalistik. Menurut saya, kontestasi itu masih melibatkan relasi kekuasaan yang melibatkan kekerasan sebagai instrumennya sehingga jalan non-kekerasan melalui jalur hukum tidak maksimal dijalankan.

 

Jika dilihat dari fakta bahwa polisi menjadi aktor dominan pelaku kekerasan, itu berhubungan dengan modal sosial polisi yang sewajarnya dikontestasikan oleh polisi melalui jalur non-kekerasan, tapi kemudian dibelokkan ke arah kekerasan. Modal sosial polisi berupa akses pada proses penertiban sosial yang diperoleh dari otoritas negara. Akses polisi dengan memiliki modal sosial ke arena jurnalistik sebenarnya kuat dan bisa dilakukan dalam jalur non-kekerasan. Akan tetapi kekurangpahaman pada UU Pers membuat mereka menggunakan modal aparatus kekerasan untuk tetap bisa berkontestasi dan menjaga dominasi dalam arena jurnalistik.

 

Kekerasan yang dilakukan dalam arena jurnalistik tidak sebanding dengan modal sosial yang dimiliki jurnalis untuk berkontestasi dalam arena jurnalistik. Modal sosial jurnalis berupa keterampilan jurnalistik dan jaminan hukum pada kegiatan jurnalistik dalam kriteria non-kekerasan seharusnya mampu berkontestasi dalam arena jurnalistik. Akan tetapi ketika harus berhadapan dengan kekerasan, modal sosial itu menjadi tidak bermakna. Logika yang sama terjadi dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik.

 

Akan tetapi tidak selalu bahwa jurnalis ada dalam posisi yang benar. Dalam  kasus lain, kekerasan yang menimpa jurnalis terjadi karena memang jurnalis tidak memiliki modal sosial memadai misalnya pemahaman pada etika jurnalistik. Kekerasan sering terjadi karena jurnalis melakukan provokasi atau penipuan.

 

Selain kekerasan fisik, jurnalis juga sering mengalami kekerasan simbolik berupa ancaman, serangan digital, pelecehan berbasis gender, dan intimidasi.

 

Definisi dan Genealogi

Theory of practice merupakan teori penting dari Bourdieu yang di dalamnya meliputi tiga konsep kunci yaitu kapital, arena, habitus. Meskipun enggan disebut sebagai Marxis, Bourdieu sangat dipengaruhi oleh Marx dalam membahas kapital. Marx melihat kapital dalam pengertian ekonomi dan akses pada proses produksi. Persamaan Bourdieu dan Marx ada pada konsep modal kultural. Seperti Marx, Bourdieu percaya bahwa kapital merupakan dasar bagi kehidupan sosial dan menentukan posisi seseorang dalam tatanan sosial. Modal adalah sekumpulan sumber daya dan kekuatan yang bisa dikelola seseorang (Bourdieu, 1984). Akan tetapi, Bourdieu kemudian memperluas ide Marx soal kapital melampaui ekonomi dan lebih menekankan pada aspek simbolik dari budaya.  Bourdieu membagi modal ke dalam tiga jenis yaitu modal ekonomi, modal kultural, dan modal sosial.

 

Modal ekonomi menurut Bourdieu adalah modal yang bisa dikonversi langsung dalam bentuk uang yang tercermin dari pendapatan individual atau keluarga. Meskipun Bourdieu mengakui bahwa modal ekonomi merupakan bentuk modal yang penting dalam memahami kehidupan sosial, dia sebenarnya tidak terlalu menaruh perhatian khusus karena ketiadaan modal ekonomi tidak membuat seseorang tidak bisa memiliki akses ke modal lain (Eunjong Ra, 2011).

 

Konsep Bourdieu tentang modal kultural mengacu pada sekumpulan elemen simbolik seperti keterampilan, selera, postur, cara berpakaian, kepemilikan material yang didapat seseorang dari kelas sosial tertentu. Berbagi bentuk modal kultural akan menciptakan identitas kolektif dan posisi kelompok.

Bourdieu melihat modal sosial sebagai properti individual ketimbang kolektif yang diturunkan dari posisi dan status sosial. Modal sosial memampukan orang untuk mengerahkan kekuatan dalam kelompok untuk memobilisasi sumber daya. Modal sosial tidak secara seragam tersedia bagi seluruh anggotal kelompok sosial tapi hanya tersedia bagi mereka yang berusaha merahnya melalui posisi, status, dan yang mengupayakan niat baik (Bourdieu, 1986).

Dalam membahas simbol dan tatanan sosial, Bourdieu dipengaruhi oleh Max Weber. Weber melihat pentingnya dominasi dalam sistem simbolik di dunia sosial. Ini yang membedakannya dengan kelompok linguistic strukturalis. Oleh Bourdieu, hal itu lalu ditransformasi menjadi konsep arena (field). Penjelasan sosial harus selalu memperhitungkan dimensi simbolik yang berkaitan dengan legitimasi kekuasaan (tradisional, karismatik, legal-rasional) (Haryatmoko, 2010. hal. 3).

Arena menunjuk pada wilayah produksi, sirkulasi, pertukaran ide, barang, pengetahuan, dan status. Ketika Bourdieu membangun teorinya, konsep arena sudah digunakan secara jamak di disiplin ilmu lain, misalnya matematika, psikologi, dan fisika yang sudah menggunakan arena dalam derajat sistematika yang beragam. Meskipun Bourdieu mengembangkannya dan kemudian tampak otonom, tetap ada persamaan epistemologis dengan ilmu lainnya (Hilgers & Mangez, 2014).

Kualitas modal berhubungan dengan kemampuan untuk masuk dan berkontestasi di arena spesifik. Tiap arena memiliki aturan dan syarat modal yang diperkukan untuk berkuasa. Jika modal yang dimiliki relevan dengan arenanya, maka seseorang akan mampu meraih kekuasaan dan memobilisasi sumber daya. Dengan demikian kekuasaan bersifat relatif, tergantung pada modal yang dimiliki dan arena dimana modal itu berkontestasi. Hal ini berbeda dengan pemikiran Marx yang struktural deterministic dengan menganggap bahwa arena ekonomi dan modal ekonomi secara absolut menentukan seluruh corak dinamika sosial.

Dalam hubungannya dengan simbol dan bahasa, Bourdieu dipengaruhi oleh ahli linguistik dan semiotika strkturalis Perancis, Ferdinand de Saussure. Saussure melihat proses pemaknaan simbol ke dalam tiga fungsi yaitu sign (tanda), signifier (petanda), dan signified (penanda). Akan tetapi, mengikuti Weber, perspektif strukturalis ini kemudian diperluas oleh Bourdieu dengan meletakkan proses pemaknaan simbolik yang dikaitkan dengan kualitas dominasi di dalam arena. Ini kemudian menggiringnya ke arah eksplorasi mengenai kekerasan simbolik.

Kekerasan simbolik adalah sebuah bentuk dominasi kultural dan sosial yang berlangsung dalam ranah tidak sadar dalam bentuk dikriminasi terhadap identitas ras, etnik, gender. Bourdieu kadang menggunakan istilah kekerasan simbolik, kuasa simbolik, dan dominasi simbolik untuk merujuk fenomena yang sama. Kekerasan simbolik bersifat tidak sadar karena sudah ada kepercayaan yang tertanam dalam tatanan sosial sejak lama sehingga kekerasan simbolik menjadi samar (Bourdieu, 1994). Oleh karenanya memanifestasikan kekerasana simbolik sering susah dilakukan karena beroperasi melalui wacana, tidak ada luka, dan tidak ada trauma, tidak ada ketakutan (Haryatmoko, 2010).

 

Referensi

Bourdieu, Pierre, Outline of a Theory of Practice, Cambridge University Press, Cambridge, 1995

---------------------, Rethinking the State, Genesis and Structure of the Bureaucratic Field,  Routledge, London, 1994

Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Gramedia, Jakarta, 2010

 

Hilgers, Mathieu ; Mangez, Eric. Introduction to Pierre Bourdieu's social fields. In: Hilgers M., Mangez E, Bourdieu's Theory of Social Fields. Concepts and applications, Routledge, London, 2014

Karman,  Bahasa dan Kekuasaan, Instrumen Simbolik Peraih Kekuasaan Versi Bourdieu, Jurnal Studi Komunikasi dan Media, Volume 21 Nomor 2, 2017

Ra, Eunjong, Understanding the Role of Economic, Cultural, and Social Capital and Habitus in Student College Choice: An Investigation of Student, Family, and School Contexts, Dissertation, University of Michigan, 2011

Tawulo, Megawati Asrul; Sarpin, Ridwan, Harnina, Kekerasan Simbolik terhadap Wartawan Lokal di Kendari, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 3, Juni 2018

 

 

 

 


No comments: