Monday, September 03, 2007

Kuasa & Identitas di balik Bahasa

Oleh R. Kristiawan

Menanggapi rencana pembuatan UU Bahasa, tulisan Ariel Heryanto (Kompas, 11/3/ 2007) dan Yonky Karman (Kompas, 17/3/2007) ada dalam aras pikir berbeda.Ariel Heryanto melihat mambanjirnya pemakaian bahasa Inggris di Indonesia dalam kacamata budaya populer, sementara Yonky Karman menilai tiadanya politik bahasa yang kuat dalam fenomena itu. Saya ingin melihat fenomena itu dalam kacamata motivasi-motivasi identitas di balik penggunaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris.

Problem pemaknaan
Karl Marx terkenal lewat konsep homo economicus. Namun, Marx dalam karya-karya awal sempat menyinggung istilah animal simbolicum. Manusia tidak mungkin lepas dari simbol sebagai "alat transaksi" dalam hubungan antarmanusia.
Konsep ini kemudian dieksplorasi lebih lanjut oleh Jurgen Habermas yang kemudian mengonstruksi pola kekuasaan atas dasar transaksi simbol lewat praktik klaim-klaim validitas (validity claim).

Bahasa merupakan simbol utama yang diproduksi dan dikonsumsi manusia. Bahasa merupakan muara dari imajinasi, pemikiran, bahkan konsep realitas dunia.

Tentang realitas dan simbol, ada dua pokok pikiran semiotika yang menjadi dasar, yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Saunders Peirce. Saussure berpikir, bahasa merupakan sistem tanda yang berguna untuk mengekspresikan ide. Ibarat permainan catur, sistem tanda ini merupakan sekumpulan regulasi (langue) di mana sebuah langkah bidak merupakan artikulasi ketaatan pada regulasi itu (parole). Dengan demikian, realitas yang disadari manusia harus taat serta melewati agen regulasi itu.

Peirce memperluas studi Saussure lewat konsep code (kode) yang melampaui sign (tanda) linguistik. Peirce tidak hanya berfokus pada studi bahasa, tetapi juga studi-studi simbol di luar bahasa, misalnya code visual. Pemikiran Pierce ini menjadi tonggak studi lebih lanjut menyangkut simbol dan budaya. Elaborasi lebih lanjut tentang code dan budaya lalu dilakukan Roland Barthes dan Umberto Eco.

Sumbangan terbesar Roland Barthes atas studi tentang makna adalah penemuan konsep myth (mitos) dari sebuah code. Myth adalah konstruksi konseptual yang terbentuk dari sebuah code.
Gambar sebuah istana di Eropa mungkin hanya berarti bangunan bagi seseorang, tetapi bisa memunculkan mitos tentang aristokrasi bagi orang lain. Lingkup studi myth juga mencakup kata dalam bahasa. Problem pemaknaan muncul karena tanda bisa memunculkan makna apa pun.

Selera, kuasa, dan identitas
Rimba raya tak bertuan dalam proses pemaknaan itu lalu dibingkai Pierre Bourdieu lewat karya monumentalnya, Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984).
Bourdieu melakukan riset terhadap 1.217 orang tentang pilihan selera mereka terhadap karya musik, film, teater, bahasa, dan literatur.

Survei itu membuktikan, selera manusia tidak netral, tetapi terkait citra sosial tertentu, misalnya kelas dan kelompok sosial.

Karena mencakup kelas atau kelompok sosial, penggunaan sebuah bahasa sifatnya menular. Tingkat penularan itu ditentukan oleh kuat-lemahnya sebuah kekuasaan. Dalam kondisi hegemonik, seluruh individu dalam sebuah komunitas memakai dan memaknai simbol yang serupa.

Orde Baru merupakan contoh unik bagaimana penularan ini bisa tercipta. "Demi pembangunan" merupakan istilah yang sering dipakai birokrat karena dua kata itu mencitrakan keanggotaan lingkaran politik Orde Baru. Uniknya, kata-kata yang salah guna seperti "daripada" atau penggunaan akhiran -ken sebagai ganti "-kan" juga sering dipakai para pejabat sampai ke tingkat kelurahan.

Kekuatan kebutuhan akan penegasan identitas lebih kuat daripada regulasi gramatik dan tertib berpikir. Ini menjelaskan mengapa orang Indonesia tidak peduli lagi pada kaidah bahasa Inggris yang benar. Asal sudah bau Inggris, cukup untuk menegaskan identitas.
Pada zaman Belanda, golongan inlander yang dekat dengan lingkaran kolonial sering memakai bahasa Belanda karena bahasa itu menegaskan, mereka masuk kelompok the ruling class yang berbeda dengan rakyat kebanyakan.

Identitas kelas sosial dan kelompok sosial serta myth apakah yang diharapkan dari pemakaian bahasa Inggris di Indonesia?

Dalam banyak segi, perdagangan bebas semakin menunjukkan betapa terpuruknya bangsa kita. Kita melihat pompa bensin Shell, Petronas, dan tidak melihat pompa bensin Pertamina di luar negeri. Kita menyaksikan kekuatan ekonomi global lewat ratusan franchise asing di Tanah Air.
Prestasi olahraga kita makin amburadul. Kita melihat betapa makmurnya negara lain, sementara kita masih terseok-seok dalam kubang kemiskinan. Sadar atau tidak, kita menyandarkan identitas pada simbol-simbol asing itu karena identitas nasional tidak sanggup menyediakan kebanggaan.

Dalam konteks masalah seperti ini, penyusunan RUU Bahasa harus disertai perjuangan mengangkat harkat ekonomi politik kita agar rakyat Indonesia bangga pada bahasa Indonesia.


R. Kristiawan Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta; Peneliti Tamu Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP), Yogyakarta

(Di muat di KOMPAS 21 Mei 2007, kolom Opini)