Tuesday, September 07, 2021


 

Mediasi dalam Perspektif Hegemoni

Redemptus Kristiawan/2106682685

 

Pertanyaan Penelitian: Bagaimana proses mediasi terjadi dalam perspektif hegemoni.

 

Konsep tentang hegemoni berpengaruh dalam cultural studies. Hegemoni adalah buah pikiran Antonio Gramsci (1891–1937), seorang filsuf dan politisi Marxis asal Sardinia, Italia. Dalam konteks studi media, hegemoni sangat berpengaruh dalam melihat bahwa media massa tidak sekedar merupakan pencipta realitas dan pengirim pesan namun juga berpengaruh dalam proses perubahan sosial. Selain itu, adopsi perspektif yang membongkar pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah itu juga membuka jalan kajian formasi budaya terutama budaya populer. (da Silva Mendes Moraes, 2018).

Walaupun seorang Marxis, Gramsci tidak secara total mengikuti pokok pemikiran Karl Marx. Gramsci justru melakukan beberapa revisi yang sangat penting. Gramsci misalnya, menolak model materialisme historis yang deterministik, mekanistik, dan struktural dari Marx. Sebagai kritik, Gramsci kemudian menyodorkan pentingnya tindakan manusia dalam melakukan transformasi sosial. Menurut Gramsci, relasi antara base structure dan super tructure berifat resoprikal, tidak deterministik. Ini berbeda dengan konsepsi Marx dimana super structure merupakan cerminan dari dan tergantung pada base structure.

Dalam super structure, subjek sadar akan adanya kontradiksi dalam kehidupan material dan melawannya, namun ini bukan merupakan proses yang cepat dan mekanis. Meskipun semua orang memiliki konsepsi tentang dunia, tetapi itu tidak selalu konsisten dengan realitas keseharian mereka. Kebanyakan orang akan diatur oleh akal sehat yang memiliki karakter dasar terpilah, inkoheren, dan tidak teratur (bahkan sejak dalam pikiran), menurut posisi sosial dan kultural kebanyakan orang, di antaranya adalah filsafat (Gramsci, 2013: 114).

Karakter mekanisistis dan materialisme historis Marx ini menciptakan apa yang disebut ekonomisme yang mereduksi perjuangan kelas. Perjuangan kelas semata hanya menjadi domain kelas pekerja, bukan masyarakat umum. Inilah yang menjadi kegagalan marxisme saat itu yaitu mereduksi perjuangan kelas oleh kelompok pekerja saja sebagai dampak dari dominasi ekonomisme. Inilah yang kemudian diperluas oleh Gramsci yang mengintegrasikan perjuangan kelas pekerja dengan masyarakat sipil kebanyakan. Spektrum isunya juga menjadi lebih luas. Keberadaan masyarakat sipil ini merupakan implikasi dari pendapat Gramsci bahwa cara pandang manusia tidak hanya melulu ekonomi.

Konsep hegemoni pada dasarnya berpendapat bahwa kekuasaan dan dominasi tidak melulu bisa dicapai dengan cara-cara koersif namun bisa juga dilakukan dengan kepemimpinan intelektual dan moral (intelettuale é morale direzzione, Joseph V. Femia,1981). Antara pihak penguasa dan yang dikuasai seolah-olah ada kesepakatan sebagai hasil reproduksi ideologis kelas penguasa, dalam hal ini adalah pemegang sistem produksi kapitalisme, dan yang dikuasai. Proses reproduksi intelektual dan ideologis penguasa dilakukan oleh peran intelektual melalui berbagai lembaga sosial seperti sekolah, partai, kelompok agama, media massa, dan lain-lain.

Media massa dalam pandangan Gramsci merupakan instrumen penting dalam proses pembentukan hegemoni karena kemampuannya dalam menciptakan realitas dan pengetahuan yang sangat penting dalam membentuk persetujuan dalam kerangka hegemoni kelas berkuasa ke kelas bawah. Dalam hal ini, Gramsci sudah bergeser jauh dari Adorno dan Horkheimer yang melihat media massa sekedar sebagai aparat industri kebudayaan tapi melupakan aspek non-komoditas yaitu proses transfer ideologi kelas penguasa ke kelas proletar.

Pendekatan ideologis ini ditolak oleh pemikir komunikasi Brasil bernama Jésus Martin-Barbero. Perspektif ideologis hegemonian mereduksi sarana komunikasi menjadi sekedar instrumen yang tujuan dasarnya hanyalah menyebarkan ideologi dominan yang dipaksakan ke kelas yang terdominasi. Ini adalah pendekatan yang merampas media dari kompleksitas kebudayaan dan realitas material kelembagaannya serta dinamika di dalam masyarakat yang menjadi target hegemoni (da Silva Mendes Moraes, 2018: 181).

Perspektif ini juga mengesampingkan fakta bahwa ada resistensi dari kelas yang dikuasai dan menganggap mereka sebagai entitas pasif belaka. Padahal kekuasaan yang bulat utuh terbukti tidak penah terjadi. Selalu ada resistensi sekecil apapun dalam kelas yang dikuasai sebagai dampak dari proses ideologisasi yang juga tidak pernah sempurna.

Akan tetapi, Barbero juga menolak teori informasi yang sekedar memosisikan media secara instrumental hanya sebagai alat penyebar informasi yang mengesampingkan dinamika relasi kekuasaan di dalamnya. Penolakan perspektif ideologis dan informatif sekaligus oleh Barbero ini menjadi seolah menemui jalan buntu karena seolah tidak ada jalan keluar bagi eksplorasi teoritik selanjutnya. 

Kondisi ini terbantu oleh cara berpikir dialektis perspektif kritis yang diwarisi dari tradisi Hegelian di mana Gramsci juga menerapkannya. Konsep hegemoni membuat Martin-Barbero berpikir tentang dominasi simbolik tidak lagi sebagai pemaksaan dari luar namun merupakan proses dinamis yang melibatkan bujukan dan keterlibatan. Hegemoni satu kelas pada kelas yang lain tidak terjadi per se, tapi dikonstruksi dan direkonstruksi oleh proses subjektif yang memerlukan pengakuan dari kelas yang terdominasi. Jadi, budaya bawah dan hegemonik tidak bersifat eksternal atau resisten seperti yang dibayangkan banyak orang. Ada pertempuran yang hasilnya tumpang tindih satu sama lain (da Silva Mendes Moraes, 2018: 183).

Sampai pada titik ini, menurut Barbero, yang terjadi adalah proses mediasi. Penilaian ulang terhadap kelas bawah memungkinkan melihat media dalam konteks yang tidak melulu hegemonik dari kelas atas tapi juga mengakomodasi matriks kultural dari kelompok yang menjadi target hegemoni. Ini menjelaskan bagaimana ekspresi-ekspresi simbolik dari kelas bawah yang bisa terakomodasi ke dalam produksi media massa dan kebudayaan lebih luas. Selalu ada proses signifikasi dan resignifikasi dalam kolektivitas yang terintegrasi dalam proses komunikasi.

What I began to call mediations were those spaces, those forms of communication that lied between the person who listened to the radio and what was said on the radio. There was not a single isolated individual upon whom the impact of the environment acted, which was the American way of seeing it [...]. Mediation meant that between stimulus and response there is a thick space of beliefs, customs, dreams, fears, everything that shapes the daily culture. (Martín-Barbero, 2000, apud Silva, 2017: 303).

Konsep mediasi membuka jalan reinterpretasi komunikasi massa – dalam konteks Martin-Barbero adalah budaya Amerika Latin – sebagai dominasi kultural dan resistensi kerakyatan yang hibrid. Memang tidak bisa menolak kekuatan industri dalam komunikasi dan bagaiman propaganda kultural kelas ada di dalamnya. Namun tetap ada fenomena proses survival kebudayaan kelas bawah. Ini kemudian menciptakan heterogenitas pesan komunikasi, yang melayani logika dominasi dan permintaan simbolik dari kelas yang terdominasi sekaligus.

Keunikan cara berpikir Barbero dalam mengeksplorasi konsep mediasi adalah babwa dia mengritik konsep hegemoni klasik yang tidak memberikan ruang optimisme pada kelas yang menjadi target hegemoni, namun tetap menggunakan cara berpikir Gramsci untuk sampai pada konsep mediasi. Ini selaras dengan tradisi Marxian yang selalu memberi revisi terhadap pemikiran Marx tanpa meninggalkan keseluruhan bangunan pemikiran Marx.

 

Referensi

Femia, Joseph V., Gramsci’s Political Thought, Hegemony, Consciousness, and the Revolutionary, Clarendon, Oxford, 1982

Gomes, Pedro Gilberto, From Media to Mediations:
Jesús Martín-Barbero in the Unisinos Communication Theory, University of Vale do Rio dos Sinos, Sao Leopoldo, 2018

Martin-Barbero, J., Communication, Culture, and Hegemony, from Media to Mediations, SAGE Publication, London, 1993

Moraes, Glaucia da Silva Mendes, The Concept of Hegemony in the Path from the Media to Mediations, Rio de Janeiro, 2018

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 


No comments: