Friday, September 09, 2005

Merintis Jalan Kultural bagi Papua

Oleh R. Kristiawan

Wacana dan analisis soal Papua cenderung meletakkan problem ekonomi-politik sebagai akar masalah.
Ketidakpuasan orang Papua salah satu indikasinya penyerahan Undang-Undang Otonomi Khusus disebabkan ketidakadilan ekonomi politik akibat kebijakan pusat yang tidak kondusif. Kekayaan alam belum mengangkat nasib ekonomi setempat; penduduk lokal terpinggirkan di tanah sendiri (demografi di Merauke menunjukkan, 40 persen penduduk adalah etnis Jawa, 30 persen suku-suku asli, dan 30 persen etnis-etnis pendatang non-Jawa); dan banyak masalah lain.
Sebagai respons praksis dari pendekatan ekonomi politik, banyak dibuat program yang sifatnya juga ekonomi politik, misalnya pemberian status otonomi khusus dan pemekaran provinsi. Ada pula pembentukan kelompok pemerhati Papua, misalnya Kelompok Kerja Papua.
Tentu saja pendekatan-pendekatan itu benar. Namun, sampai sekarang masih terasa ada sesuatu yang mengganjal dalam situasi Papua. HS Dillon dalam sebuah pertemuan mengatakan, sudah dilakukan banyak upaya politik dan ekonomi untuk menyelesaikan masalah Papua, tetapi terasa sekali upaya itu belum berdampak maksimal. Ada sesuatu yang tidak lengkap dalam melihat dan merespons masalah Papua.
Yang banyak terlupakan dalam pendekatan ekonomi politik adalah persoalan identitas kultural. Francis Fukuyama dalam Trust (1995) mewakili sedikit ilmuwan yang percaya bahwa ekonomi tidak bisa lepas dari dinamika kultural lokal. Artinya, teropong kultural mutlak dipakai dalam implementasi kebijakan ekonomi.

Budaya populer
Sadar akan pentingnya strategi kultural dalam mengatasi masalah sangat penting, saya terpaksa melirik tema budaya populer karena budaya populer sangat signifikan dalam proses produksi dan konsumsi budaya modern. Budaya populer juga menyediakan kekuatan dengan tingkat konflik yang rendah.
Masyarakat Papua sudah bisa menyaksikan tayangan-tayangan televisi Jakarta. Mau tidak mau mereka harus menyaksikan dinamika budaya populer dalam ranah domestik mereka lewat televisi. Modernitas ada di depan mata mereka meskipun cara hidup mereka masih banyak yang tidak bersentuhan dengan modernitas.
Mengacu pada pendapat Alexis de Tocqeville, pada taraf kehidupan modern di mana kebudayaan-kebudayaan cenderung konvergen, identitas menjadi aspek penting dalam tautannya dengan struktur kekuasaan dan dominasi. Dengan demikian, ekspresi-ekspresi kebudayaan sebenarnya juga merupakan perjuangan mempertahankan identitas. Dalam hubungannya dengan masyarakat Papua, jelas sekali mereka tidak terwakili dalam arus budaya populer yang ada. Mereka dipaksa untuk hanya menonton tayangan televisi Jakarta. Padahal, simbol, ikon, metafora, dan idiom tayangan-tayangan itu tidak bersignifikasi dengan situasi keseharian mereka.
Inilah proses komunikasi kebudayaan populer yang tidak seimbang karena cenderung bersifat satu arah sehingga banyak orang Indonesia tidak tahu bahwa selain Australia, Papua juga punya kanguru.
Budaya populer erat kaitannya dengan identitas politik. Budaya populer adalah sarana modern di mana identitas nasional, etnik, jender, agama, dan kelas sosial saling memperjuangkan signifikasi dan dominasi dalam politik ruang publik (Chris Barker, 2003). Targetnya tentu saja bukan perolehan suara seperti pemilu, tetapi dominasi identitas. Lihatlah AFI dan Indonesian Idol yang selalu mengaitkan seorang penyanyi dengan daerah asalnya. Lihat pula bagaimana wali kota, bupati, dan gubernur sangat antusias mendukung penyanyi dari daerahnya.
Seperti halnya diplomasi, budaya populer memakai perangkat-perangkat lunak, misalnya kata-kata, gambar, dan lagu, untuk memperjuangkan dominasi non koersif. Meskipun tanpa koersi, dominasi itu sangat terasa dalam psikologi politik dan kualitas kepercayaan, apalagi untuk daerah sensitif seperti Papua.
Orang Papua terpaksa menyaksikan berbagai ekspresi kultural di luar diri mereka, sementara ekspresi mereka tidak mendapat tempat yang layak dalam arena budaya populer. Tidak seperti Jakarta, Papua tidak menguasai faktor-faktor produksi budaya populer. Dari sinilah perasaan terdominasi dan tersubordinasi salah satunya berasal.
Maka, untuk menghasilkan solusi komprehensif mengenai Papua, jalan ekonomi dan jalan politik mesti juga dibarengi dengan jalan kultural. Cara ini bukannya belum ada di dunia. Tentu kita masih ingat cerita Keluarga Huxtable di TVRI tahun 80-an. Seluruh pemain utama serial ini berkulit hitam. Tidak seperti komunitas kulit hitam di kampung kumuh Brooklyn, Huxtable diposisikan sebagai keluarga kelas menengah seperti orang kulit putih. Sebagai sebuah strategi kultural, serial televisi tersebut sangat jitu untuk mengangkat identitas masyarakat kulit hitam di Amerika Serikat.
Secara politis, Keluarga Huxtable mempromosikan persamaan etnis dalam sosiologi masyarakat Amerika. Inilah cara proaktif mencegah konflik etnis. Penarikan musik jazz yang aslinya adalah musik pemberontakan budak Negro ke dalam industri musik pop juga merupakan strategi budaya lain yang jitu. Intinya adalah pemberian ruang psikologi politik untuk aktualisasi identitas kultural. Di Indonesia, upaya Rano Karno memperjuangkan kultur Betawi lewat Si Doel Anak Sekolahan memulai babak baru masuknya tema-tema Betawi ke tayangan televisi kita.
Upaya memperjuangkan identitas Papua baru sedikit dilakukan. Padahal, Papua menyediakan potensi yang luar biasa. Masyarakatnya ekspresif dan cerdas; warna langitnya biru bersih; lautnya indah; variasi idiom kulturalnya pun luar biasa.
Dari sinilah terasa begitu miskin representasi identitas Papua dalam arus budaya populer. Salah satu ekspresinya sangat jelas terdengar dalam dialog film Aku Ingin Menciummu Sekali Saja karya Garin Nugroho. Bapa pastor, kenapa Yesus tidak dilahirkan berkulit hitam? kata satu pemeran di bilik pengakuan dosa. Ketika film itu diputar, sambutan masyarakat Papua luar biasa. Film ini menjadi box office di Papua. Ini membuktikan kerinduan mereka pada representasi dalam budaya populer.
Strategi kebudayaan seperti contoh-contoh di atas perlu dilakukan agar Papua tidak hanya dihubungkan dengan potensi sumber daya alamnya, tetapi juga martabat dan identitas budaya manusia setempat.

R Kristiawan Peneliti Yayasan SET, Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta, Melakukan Assessment Sosiokultural untuk Pilkada di Papua

(dimuat di Kompas edisi Jumat, 9 September 2005)

No comments: