Monday, March 21, 2005

Quick Count dan Refleksi Historis atas Bantuan Asing

Oleh R Kristiawan

PENGHITUNGAN cepat (quick count) terhadap hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2004 yang dikerjakan LP3ES di bawah donasi National Democratic Institute (NDI) dan UNDP memancing banyak tanggapan. Tanggapan paling keras datang dari Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, yang menghubungkan quick count itu dengan nasionalisme dan independensi bangsa. Pada wilayah kesadaran yang lain, Todung Mulya Lubis menganggap adanya hipokrisi pada pemikiran Kwik Kian Gie, karena donasi asing itu juga diterima oleh pemerintah, selain LSM yang selama ini dituduh menjual bangsa.

Kritik Kwik Kian Gie itu berada dalam koridor kritis mengenai relasi antarnegara. Secara teoretik, pemikiran itu sama dengan pemikiran Antonio Gramsci, penggagas teori hegemoni dari Italia. Gramsci berpendapat, relasi antarbangsa tidak bisa lepas dari motivasi ideologis, di mana negara kuat selalu berupaya mencangkokkan kekuasaannya ke negara yang lebih lemah. Johann Galtung juga berada dalam paradigma yang sama saat melihat relasi internasional. Secara lebih tegas, Galtung melihat adanya ketergantungan negara-negara periferal kepada negara-negara pusat.

Tema bantuan asing yang diributkan saat ini sebenarnya sudah berakar kuat dalam sejarah Indonesia dari era Soekarno sampai Orde Baru. Tulisan ini hendak mengupas kilasan sejarah itu dan melihat posisi bantuan asing pada era sekarang.


Dalam Pembangunan

Dalam konteks sejarah pemikiran Indonesia, Soekarno menjadi pelopor dari kritik terhadap dominasi internasional. Sebagai reaksi terhadap kolonialisme, Soekarno meletakkan dasar-dasar pemikiran mengenai nasionalisme. Berbeda dengan Gramsci yang meletakkan pemikiran dominasi internasional itu dalam kerangka konflik kelas, Soekarno meletakkannya dalam kerangka identitas nasional dan proses nation building.

Selepas era kolonialisme, Soekarno kemudian menumpukan pemikirannya pada perlawanan terhadap negara-negara maju yang berupaya mempengaruhi geopolitik dunia lewat sarana bantuan asing. Ungkapan Soekarno yang terkenal, go to hell with your aid, sangat kuat menggambarkan penolakan Soekarno pada bantuan asing itu. Penggalangan solidaritas Asia-Afrika tahun 1955 adalah bagian dari strategi politik Soekarno untuk melawan pengaruh Utara.

Selain memori mengenai kolonialisme, kritik terhadap bantuan asing pada masa Soekarno juga dilatari oleh ketegangan ideologis internasional antara kubu liberal dan komunis. Strategi umum politik internasional pada waktu itu adalah upaya memasukkan satu negara ke dalam kedua blok ideologi itu. Dalam kesadaran politik kritis, sosialisme menjadi lebih dekat bagi kesadaran Soekarno pada masa itu.

Maka, tak heran kalau kemudian Soekarno lebih dekat dengan Cina daripada Amerika. Dalam kerangka konflik internasional seperti inilah sebenarnya politik luar negeri Amerika Serika lewat bantuan luar negeri itu muncul. Strategi itu muncul dalam wujud paket pembangunan ekonomi.

Dihadapkan pada negara-negara baru pasca-kolonialisme, Amerika merasa perlu menyikapi keadaan itu dalam kerangka kompetisi ideologis dengan Uni Soviet. Negara-negara yang baru merdeka di kawasan Asia-Afrika itu pada umumnya miskin. Padahal, komunisme mudah tumbuh subur di daerah miskin. Hal itu tentu sangat mengkhawatirkan Amerika.

Dalam pidato pelantikan presiden pada 20 Januari 1949, Presiden Harry Trumann meluncurkan era pembangunan bagi negara-negara yang baru merdeka itu. Trumann membagi negara-negara ke dalam tiga kategori, yaitu negara terbelakang (underdeveloped), negara sedang berkembang (developing), dan negara maju (developed).

Parameter yang dipakai dalam mengategorikan kondisi suatu negara adalah capaian ekonomi kuantitatifnya lewat indikator pendapatan per kapita (PCI), pendapatan nasional (GNP), dan pertumbuhan ekonomi nasional. Paket pembangunan itu linier dengan modernisasi yang dikerahkan di Asia dan Afrika.

Proses utama yang diperlukan dalam program itu adalah pertumbuhan ekonomi seperti dipikirkan oleh WW Rostow dan JM Keynes dari mashab neoklasik. Modal utama dari proses itu adalah ketersediaan investasi modal. Untuk itulah bantuan asing dari Amerika dan negara-negara maju secara besar-besaran disuntikkan ke negara-negara berkembang ini. Dari sinilah sejarah mengenai bantuan asing itu berawal. Dalam kacamata kritis, inilah era politik soft power yang men- jadi metamorfosa imperialisme.

Sikap politik Soekarno berada dalam posisi diametral dengan angin politik ekonomi yang bertiup dari Utara itu. Penyebabnya, apalagi, kalau bukan sikap keras Soekarno terhadap bantuan asing yang menurutnya menjadi bagian dari agenda neoimperialisme. Karena itulah bantuan asing tidak pernah datang pada era Soekarno sampai akhir hayat pemerintahannya yang disertai tumpukan masalah ekonomi.

Bantuan asing baru mengalir deras ke Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru. Soeharto secara bulat-bulat mengadopsi program pertumbuhan ekonomi. Selain menerima bantuan dari Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia, Soeharto juga menunjuk ekonom-ekonom pro-pembangunan sebagai arsitek ekonomi Orde Baru. Selain mengalir ke pemerintahan, bantuan asing juga sedikit mengalir ke kelompok LSM generasi pertama yang juga berpaham developmentalis.

Penerapan ideologi pembangunan oleh Soeharto menjadi titik penting dalam konteks Perang Dingin. Inilah sejarah ketika secara politik kekuatan komunis di Indonesia dibenamkan sampai titik nol pada tahun 1965 dan secara ekonomi diterapkan program pembangunan. Program pembangunan menandai mulainya era kapitalisasi di Indonesia yang bertumpu pada bantuan asing.

Bantuan asing juga menjadi kekuatan penting bagi politik Soeharto selain militer dan birokrasi. Salah satunya karena 30 persen bantuan asing itu menjadi sumber ke- kuatan kroninya lewat praktik korupsi birokratis seperti disinyalir oleh almarhum Prof Soemitro Djojohadikusumo.

Di kawasan Asia, bantuan asing itu menjadi faktor penting dari keajaiban Asia pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an, saat krisis ekonomi mulai. Krisis ekonomi di Indonesia menjadi titik balik penting saat semua orang mulai sangat kritis pada bantuan asing. Batuan asing diposisikan sebagai sumber dari masalah ekonomi balon (bubble economy) yang langsung meletus saat tertusuk jarum.


LSM

Wacana mengenai bantuan asing saat ini banyak dihubungkan dengan keberadaan LSM yang memang banyak mendapat dana dari luar negeri. Sinisme yang ditampilkan pada LSM muncul lewat ungkapan menjual bangsa, orientasi proyek, menjual kemiskinan, dan lain-lain. LSM diposisikan sebagai perpanjangan tangan dari agenda ekonomi politik internasional ke Indonesia.

Ada dua kelompok pengkritik utama LSM, yaitu pemerintah dan kelompok berideologi kelas. Pemerintah sering menabuh genderang perang terhadap LSM karena dalam banyak kasus, LSM menjadi pengkritik kebijakan pemerintah, misalnya pada persoalan HAM dan lingkungan. Sementara kelompok berideologi kelas menghubungkan keberadaan LSM dengan agenda ekonomi politik internasional bernama neoliberalisme.

Dalam konteks Pemilu 1999 dan 2004, bantuan asing mengalir ke pemerintah dan LSM sekaligus. KPU menerima dana dari luar negeri, demikian juga kelompok LSM Pemilu seperti Koalisi Media, Cetro, LP3ES, LSI, dan jaringan para pemantau. Dalam banyak hal, keberadaan LSM itu menjawab kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dilakukan pemerintah dan partai, misalnya pendidikan politik, sosialisasi tata cara memilih, dan mendorong munculnya presiden yang benar-benar aspiratif.

Secara umum, bantuan asing sudah masuk ke dalam banyak sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Pemerintah sudah berutang besar-besaran sejak awal Orde Baru. LSM-LSM juga menerima bantuan lewat berbagai program. Secara realistis objektif, bantuan asing harus kita akui berpengaruh dalam dinamika sosial politik Indonesia. Kesadaran semacam itu memerlukan penyikapan yang komprehensif dan tidak melulu ideologis hitam putih.

Akan tetapi kesadaran politik kita memang masih banyak dilumuri agenda mencari kambing hitam. Saat kebanjiran utang, kita mengutuk para pengutang, bukannya melunasi atau dengan tegas menghukum para koruptor penyeleweng utang itu. Kita mengusir Sidney Jones, bukannya berkaca dengan jernih tentang pelanggaran HAM di Aceh. Kita mengutuk intervensi asing atas nama nasionalisme, tetapi di saat yang sama mau menerima uangnya. Memori bangsa ini masih diliputi trauma pada kolonialisme yang mengidentifikasi orang kalau tidak sebagai penjajah, ambtenaar, atau wong cilik.

Sikap berang berlebihan sekaligus hipokrit pada quick count LP3ES dan NDI adalah salah satu contohnya.


Penulis adalah peneliti pada Departemen Riset Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Jakarta.

(sudah dimuat di Suara Pembaruan 13 Juli 2004)

No comments: