Monday, March 21, 2005

Mediasi: Fakta Pascahegemoni

Oleh R. Kristiawan

Pada suatu senja cerah di sebuah warung makan tepi selokan Mataram Yogyakarta, segerombolan anak muda tampak ribut mengobrol. Dandanan mereka seperti layaknya anak metropolis. Yang cewek berkaos ketat lengan mepet hingga seluruh ubuhnya tampak penuh sementara para cowoknya pakai jeans dengan berbagai asesori. Sambil ngobrol, mereka menikmati ayam goreng. Warung itu secara geografis tidak istimewa. Namun penampilan warna telah membedakannya dengan warung makan Yogya pada umumnya. Dinding warung itu dicat kuning berbaur merah. Lampunya juga terang benderang seperti mall. Di depan warung itu terpampang board cukup mencolok: Kentuku Fried Chicken.

Beberapa waktu terakhir, Yogyakarta disemarakkan dengan hadirnya rumah makan (tepatnya warung makan) khusus ayam goreng. Namanya lucu-lucu dan bermacam-macam. Ada Yogya Fried Chicken, Kentuku Fried Chicken, dll Warung itu bisa hadir di mana-mana. Bisa di tepi jalan besar atau juga menjorok masuk kampung. Kalau diamati, secara simbolik perilaku mereka mengacu pada satu tema yaitu franchise ayam goreng Amerika semacam McDonald atau Kentucky Fried Chicken. Lihat saja bagaimana mereka memilih nama warung yang cenderung memlesetkan perusahaan asing sampai bagaimana mereka mendesain tempat dan memilih warna. Warna warung biasanya warna cerah didominasi merah, biru cerah dan kuning : warna Amerika. Tampilan ayam gorengnya sepintas sama dengan ayam goreng impor. Daging ayam itu digoreng garing dengan selimut tepung.

Kira-kira delapan tahun lalu, saat masyarakat terkena demam sepeda gunung ala Amerika, orang Yogya malah ramai-ramai berburu sepeda unta dari Prambanan dan Gunung Kidul kemudian menyulapnya menjadi sepeda ‘kota’ berwarna metalik cerah seperti sepeda gunung. Biasanya pada malam Minggu, rombongan sepeda itu akan memenuhi jalanan utama Yogyakarta. Tak ketinggalan para pengendaranya menyertakan seragam kain sorjan lurik Pasar Beringharjo dan helm mandor jaman Belanda. Dengan penuh percaya diri mereka membunyikan bel sepanjang jalan sambil tertawa ramai-ramai. Dari dua fakta menarik itu, saya sejenak menjadi tidak mengidolakan Gramsci dan bertanya: Benarkah hegemoni ada? Saat membaca Selection from the Prisoner’s Notebooks (1979) tiga tahun lalu, saya terkesima pada halaman 21 saat Antonio Gramsci mengulas dengan terang bagaimana hegemoni bisa terjadi saat instrumen koersif dan instrumen ideologis sudah dipegang penguasa. Apalagi saat Joseph V. Femia lewat Gramsci’s Political Thought (1981) semakin memperjelas pikiran Gramsci yang agak rumit itu, saya menjadi semakin terkesan pada konsep aktivis partai komunis asal Sardinia itu. Ditambah lagi saat beberapa pemikir cultural studies mencangkok ide hegemoni dalam konteks kebudayaan modern dalam relasinya dengan kapitalisme, konsep hegemoni yang semula lebih condong pada konteks politik militeristis (Italia) menjadi lebih kaya dan tajam setelah dikontekstualisasikan dengan kuasa modal. Salah satu inti pemikiran Gramsci adalah terciptanya ketaatan moral, intelektual dan afektif karena dikehendaki oleh kekuatan struktur ekonomi dan politik. Dalam konteks peradaban modern, kebudayaan dominan dengan demikian merupakan hasil penaklukan kapitalisme terhadap aktivitas kebudayaan manusia. Bahkan jika dibandingkan dengan aparat modernisme yang lain—militer, birokrasi, dan borjuasi lokal—kapitalisme tetap menjadi ujung tombaknya. Gramsci melihat secara kritis bahwa kekuatan struktur ekonomi dan politik itu akan semakin meminggirkan ekspresi yang tidak berada di dalam jaringan penaklukan. The winner takes all.

Dalam konteks hubungan antar negara, konsep Gramsci itu mempengaruhi munculnya teori imperialisme budaya seperti yang pernah dilontarkan ahli komunikasi Belanda Cees Hamelink. Melalui jembatan pembangunanisme, Barat telah melakukan penetrasi besar-besaran dalam kehidupan ekonomi negara dunia berkembang hingga berujung pada globalisasi saat ini. Relasi dalam globalisasi adalah manifestasi ekspansi ekonomi transnasional dalam semangat dasar kapitalisme. Kepentingannya beragam mulai dari penaklukan ekonomi sampai ekspanasi pasar. Karena ekspansi ekonomi dan politik inheren dengan ekspansi kebudayaan, maka tikda bisa tidak kebudayaan akan cenderung mendukung kebijakan ekonomi dan politik itu. Ambil contoh bagaimana simbol-simbol kemakmuran seperti handphone dan McDonald telah menghinggapi sebagian besar kelas perilaku menengah Asia Tenggara pertengahan 90-an seiring dengan orientasi pertumbuhan ekonomi mashab neoklasik seperti yang pernah diulas oleh Richard Robison dalam New Rich in Asia (1994). Selain itu muncul pula gejala dimana dipakainya secara besar-besaran simbol-simbol kebudayaan negara maju karena mitos kemakmuran cenderung membuat orang melakukan aktivitas kebudayaan menurut citra kemakmuran itu. Kadang tidak rasional secara material. Ayam goreng McDonald menjadi laris manis dan punya image tinggi bukan karena substansi material yaitu kelezatan ayamnya tetapi terlebih karena simbol kelas McDonald itu membuat konsumen mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari golongan kelas atas pada saat mereka mengkonsumsi ayam itu. Bukan lagi konsumsi material yang penting namun konsumsi simbol yang berhubungan dengan mitos identitas dan kenyamanan kelaslah yang menjadi pertimbangan konsumsi. Padahal, lihat saja betapa tidak kayanya bumbu ayam McDonald dibanding Ny. Suharti. Paul Ricoeur bilang, selera dan estetika itu ideologis. Parameter tentang keindahan dan kelezatan cenderung punya sentimen mendukung kelas dominan.

Dalam cara pandang hegemonian, kebudayaan global akan bersifat tunggal karena watak kapitalisme yang monolitik. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar. Tidak ada celah lagi untuk menjadi independen secara simbolik karena rekayasa elitis yang terlanjur disepakati oleh moralitas, kognisi, dan afeksi masyarakat bawah. Padahal ketiga faktor inilah yang terpenting dalam memproduksi simbol. Kebudayaan lokal yang tidak marketable akan terpinggirkan karena desakan kultur asing yang sangat profit oriented. Pertanyaan kritis lalu muncul. Seberapa jauhkah masyarakat luas (crowd) akan menyerahkan identitasnya pada kekuasaan dominan? Apakah masyarakat dengan begitu mudahnya akan bertindak sangat pasif sehingga tidak mampu lagi melakukan resistensi? Dalam kaca mata Gramsci, penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu daya bisa mematikan kesadaran resistensi masyarakat. Dalam kondisi hegemoni, orang tidak akan punya kekuatan kritis lagi. Semuanya serba pesimis. Apakah sesederhana itu? Soeharto pada pertengahan masa orba sampai menjelang ajalnya tampil sebagai penguasa yang ditakuti. Ia—seperti halnya Lee Kuan Yew—punya prinsip lebih baik ditakuti daripada dicintai. Siapa orang yang berani terang-terangan menentang Soeharto waktu itu? Dalam tataran politik praktis mungkin tidak ada. Namun dalam ranah kultur keseharian, apakah Soeharto benar-benar absolut? Jawabnya tidak. Di tingkat bawah, orang sudah muak dan kemuakan itu muncul dalam berbagai bentuk resistensi. Resistensi yang paling sederhana adalah humor. Subversi kecil-kecilan itu paling tidak akan memunculkan rasa bahwa mereka tidak terkuasai. Kita bisa melihat berapa banyaknya humor-humor politik yang hidup subur di masyarakat dan cepat menyebar. Semuanya bernada kritis pada penguasa. Kondisi ini mirip Rusia pada masa Kruschev. Kalau ekspresi politik resmi tidak bisa disalurkan, jalur kultural siap menampungnya. Dalam banyak kisah sejarah terbukti, hegemoni tidak pernah ada. Gramsci dan raja Mataram sama gagalnya. Kekuasaan yang bulat utuh hanyalah ilusi Hamengkubuwono yang hanya bisa mengatupkan kedua ibu jarinya—saat posisi resmi—membentuk bulatan kosong sebagai lambang dunia yang bisa ia pegang. Buktinya, Mataram tidak pernah benar-benar menguasai seluruh dunia. Soeharto pun tidak pernah menelan Indonesia secara bulat-bulat. Masih ada serpihan resisten di sana-sini bahkan saat kekuasaan tampil dengan pongah.

Dalam dunia kebudayaan populer perdebatannya semakin ramai. Kalau diambil asumsi bahwa globalisasi—wajah lain dari kapitalisme internasional—telah melakukan penetrasi kultural ke segala mata angin dunia, maka seharusnya ekspresi kebudayaan dunia akan bermuka tunggal dalam satu kontrol. Tapi rumus hegemonian itu tidak sepenuhnya bekerja dengan baik. Cara padang ofensi versus resistensi terasa terlalu sederhana apabila dilihat dinamika budaya yang tidak sefrontal itu. Saat musik rap Amerika menjalar ke seluruh negeri, orang Indonesia khawatir musik domestik akan hilang. Namun apa yang terjadi. Tidak dalam rangka menentang rap, Iwa K. malah melakukan terobosan dengan membuat rap dalam lirik bahasa Indonesia. Begitu juga saat banyak orang Jawa khawatir pada serbuan musik pop, Jadug Ferianto dan Manthous malah membuat gamelan dalam tangga nada diatonis, tidak lagi pentatonis. Dalam struktur diatonis, lagu apapun dari negeri manapun akan bisa dibawakan dalam timbre gamelan yang khas Jawa. Belakangan kedua tokoh Yogya itu menjadi tersohor karena mampu mengahdirkan musik pop Jawa yang sinkretik dengan Barat. Eddy Kempot dari Solo yang punya paradigma serupa bahkan tersohor di Suriname. Kasus ayam goreng Yogya, sepeda onthel, kaos oblong Yogya juga ada dalam kerangka alur yang sama. Orang-orang itu bukanlah tokoh revolusioner dalam impian Gramsci yang akan menentang segala bentuk ofensi. Mereka hanya memadukan segala unsur, dan itulah realitas politik kebudayaan pada umumnya. Ekspresi kebudayaan tidak bisa disederhanakan ke dalam kotak apa pun termasuk kelas. Bahwa perspektif kelas bisa membantu melakukan analisis itu benar. Namun menggantungkan analisis hanya pada satu instrumen kelas saja akan sangat reduksionis dan dangkal. Kadang ekspresi tidak butuh ideologi. Estetika bisa saja menjadi determinan.
Nah, lalu di manakah posisi media dalam konstelasi ini ? Menurut paradigma hegemonian, media massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. Benarkah media massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi ? Tidak. Bahkan istilah media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di sanalah segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu. Hasil interaksi antar simbol itu akan bersintesis dan menemukan bentuk ekspresi baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum yang amat luas dan tidak melulu hegemonik. Contoh-contoh di atas adalah buktinya. Mediasi terasa lebih kaya dan jernih dibanding hegemoni. Namun perlu dicatat, seluruh ekspresi itu tidak bisa lepas dari jual beli.


(sudah dipublikasikan di Newsletter KUNCI No. 8, September 2000)

No comments: