Oleh A. Reza Rohadian, Eddy Suprapto, Hendrika Y., Markus Sumartomdjon, R.Kristiawan
Kejaksaan Agung tampak memble dalam menyidik pelbagai kasus yang menjadi sorotan masyarakat. Negara-negara donor pun geregetan. Mereka tak sabar lagi untuk melihat supremasi hukum ditegakkan di Bumi Nusantara. Guna membantu Kejaksaan Agung mereka pun mengucurkan hibah US$ 1 juta.
Hore! Jaksa Agung Marzuki Darusman dapat duit US$ 1 juta. Huss! Jangan gembira dulu. Duit yang diberikan Asian Development Bank itu bukan untuk foya-foya ataupun dibagikan kepada segenap karyawan Kejaksaan Agung. Sebaliknya, penyaluran hibah itu tampaknya membuat Jaksa Agung itu tambah pusing. Sebab, pemberian bantuan itu tak lain untuk mempercepat penyelesaian penyidikan perkara yang menjadi sorotan masyarakat.
Dalam sidang CGI yang berlangsung 1-2 Februari lalu negara-negara donor memberi perhatian serius terhadap tiga kasus: Soeharto, Bank Bali, dan pelanggaran HAM. Betapa Marzuki tidak pusing? Kasus Soeharto beserta sejumlah yayasan, yang dijanjikan akan segera dituntaskan, penyidikan ulangnya tak kunjung bisa dimulai. Padahal, ketika baru saja dilantik ia berjanji memprioritaskan perkara mantan penguasa Indonesia itu.
Begitu juga dengan skandal Bank Bali. Betul, hingga kini sejumlah nama yang terlibat seperti Pande Lubis (mantan Wakil Ketua BPPN), Djoko Tjandra (bos Grup Mulia), maupun Tanri Abeng sudah dinyatakan sebagai tersangka. Tapi untuk melihat mereka duduk di kursi pesakitan agaknya masyarakat masih harus bersabar. Lalu ada lagi kasus Texmaco yang menyalahgunakan kredit BNI sebesar Rp 9,8 triliun. Untuk kasus ini, awalnya Marzuki tampak sigap bertindak. Begitu Menteri Investasi dan Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi menyerahkan data-data penyelewengan yang dilakukan Texmaco, Marzuki serta merta menetapkan Marimutu Sinivasan, bos Texmaco sebagai tersangka.
Namun, hingga hampir tiga bulan sejak kasus itu mencuat ke permukaan, perkara itu seolah berjalan di tempat. Boro-boro ada tersangka baru, kabar Marimutu Sinivasan akan diperiksa lagi pun tak pernah terdengar. Kepeningan Marzuki akan kian menjadi jika kelak kasus BLBI yang membuat rakyat harus menanggung perbuatan bejat para konglomerat senilai Rp 80,248 triliun -dana yang tak layak dialihkan ke pemerintah- itu juga meluncur ke Kejaksaan Agung.
Begitulah. Seabrek perkara yang ada di Kejaksaan Agung belum lagi tuntas, Senin lalu Marzuki sudah ketiban berkas kasus yang tergolong dahsyat. Berkas itu tak lain adalah rekomendasi KPP HAM atas pembumihangusan di Timtim pasca jajak pendapat yang melibatkan sejumlah jenderal TNI.
Rakyat sudah kecewa berat
Lantas, akan diapakan duit sebesar US$ 1 juta itu? Sebagaimana ditulis KONTAN (No. 17/IV/2000) Marzuki akan membentuk sebuah tim untuk menguber tikus-tikus pencoleng negeri hingga ke liang lahat. Tim ini beranggotakan Menko Ekuin, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Ketua BPPN, Ketua BPKP, serta Kapolri. Sekilas, ditinjau dari komposisinya tim ini boleh dibilang the dream team.
Cuma, bagaimana sepak terjang mereka di lapangan masih harus ditunggu. Sangat pantas jika Marzuki menggandeng instansi lain untuk membantu jajaran Kejaksaan. Maklumlah, mengandalkan anak buahnya sendiri agaknya cukup sulit. Seperti kata mantan Jampidsus Antonius Sujata yang ditendang Habibie itu, anak-anak buah Marzuki selain lamban, cara bekerjanya pun masih rutin. "Mereka bukan reformis," umpatnya. Sujata yang kini dipersiapkan Gus Dur untuk memimpin Ombudsman atawa lembaga penyidik independen sebaliknya memuji Marzuki. "Lihat saja, Tanri Abeng, Setya Novanto dan Sinivasan dijadikan tersangka. Itu hebat. Sebab, dulu orang-orang itu seperti tidak tersentuh hukum," tuturnya. Lain lagi pendapat Gagoek Soebagjanto. Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang terjungkal gara-gara mengungkit patgulipat dana SWKP petani cengkeh oleh Nurdin Halid ini menilai Kejaksaan Agung di bawah Marzuki Darusman berjalan di tempat. "Kasus-kasus yang ada harus segera diselesaikan," ujarnya, "Jangan cuma ngomong akan ditindak. Ingat, rakyat sudah kecewa berat."
Betapa pun, ia mengakui sebenarnya langkah Marzuki Darusman sudah lebih maju ketimbang pendahulunya, Andi Ghalib ataupun Ismudjoko. Seperti halnya Sujata, ia berpendapat, yang banyak mengganjal langkah Jaksa Agung justru anak buahnya sendiri. "Kalau Jaksa Agung sudah berjalan 100 kilometer, anak buahnya baru sekitar 50 kilometer," ia memberi perumpamaan. Guna mengatasinya, Gagoek mengusulkan, Jaksa Agung harus berani melakukan penyegaran di lingkungannya. Misalnya, dengan mengganti seluruh orang di Gedung Bundar. Caranya, antara lain, mendatangkan jaksa-jaksa yang profesional dari daerah. "Mereka orang-orang yang masih bersih dari kooptasi Jakarta," katanya. Sementara itu, Ketua ICW Teten Masduki berpendapat lemahnya Marzuki dalam penanganan korupsi maupun pelanggaran HAM tak lepas dari kelemahan rezim pimpinan Gus Dur. "Pemerintah sekarang kan belum steril dari rezim lama," ujarnya. Menurutnya pemberantasan terhadap rezim lama berupa pemenjaraan, pengadilan, atau eksekusi hanya bisa dilakukan jika ada penggantian kekuasaan secara tuntas.
Namun Guru Besar Fakultas Hukum UGM Prof. Bambang Poernomo tak setuju jika semua kesalahan dilimpahkan kepada Kejaksaan Agung. Di mata ahli hukum pidana ini, gencarnya desakan-desakan itu justru akan membuat Kejaksaan Agung akan bertambah bingung. Menurutnya, untuk menegakkan supremasi hukum, semua dimensi harus bergerak seiring. Dimensi gerakan masyarakat, gerakan moral, dan pendidikan harus bekerja dalam satu sistem. "Tidak adil juga kalau cuma menekan Kejaksaan seolah-olah dialah lembaga yang paling bertanggung jawab," ujarnya.
Kalau mau terus dibantu, kerja yang serius!
Marzuki sendiri tampaknya tak akan menyia-nyiakan modal yang cukup besar itu. Bahwa instansinya terkesan lamban dalam menuntaskan perkara yang ditangani, itu disebabkan pihaknya tidak bisa main asal tangkap. "Kalau kita mau menegakkan hukum, kita tidak bisa memakai jalan pintas," tuturnya seraya berjanji akan menuntaskan semua kasus di Kejaksaan Agung.
Mengenai kasus Soeharto, Marzuki mengaku pihaknya kini sudah mengalami banyak kemajuan dalam pemeriksaan. "Sekarang kami sudah mendapat gambaran yang nyata tentang skala persoalan yang dihadapi," ujarnya. Tak lupa ia menyampaikan, saat ini Kejaksaan Agung sudah memproses pemanggilan Soeharto.
Akan halnya skandal Texmaco dan yang menyangkut bank ataupun perusahaan lainnya, ia mengungkapkan, saat ini Menko Ekuin, Menteri Keuangan, Menteri Investasi, Kepala BPPN, Kepala BPKP tengah merancang suatu prosedur untuk menilai perusahaan dan bank yang memerlukan restrukturisasi, rekapitalisasi, dan penyelesaian hukum. "Ini akan segera dibentuk melalui keppres setelah presiden kembali," ungkapnya. Marzuki juga sadar betul jika pihaknya bertindak setengah-setengah, kepercayaan negara-negara donor pun akan memudar. Memang, secara langsung para donor tidak mengancam akan menghentikan bantuannya. Tapi, kata Marzuki, penyelesaian kasus-kasus akan memperlancar kesepakatan di antara donor untuk bisa mencairkan pinjaman tanpa ada rintangan dari segi kemajuan pendekatan hukum.
"Saya kira negara donor tidak akan mau secara suka rela memasukkan uangnya kalau tidak ada kepastian hukum yang bisa melindungi investasinya di sini," ucapnya panjang lebar. Untuk itu, mantan Ketua Komnas HAM ini berjanji akan meningkatkan kinerja lembaganya dalam menangani pelbagai kasus yang dihadapi. Kendati negara donor tak memberi target waktu, ia berjanji sebelum pertemuan CGI berikutnya, "Harus ada kemajuan, dong."
Betul, nih? Oke, kita tunggu.
(dipublikasikan di Majalah Kontan edisi 19/IV tgl 7 Februari 2000)
No comments:
Post a Comment