Teori Media dan Konsumsi
Redemptus Kristiawan/2106682685
Pertanyaan penelitian: Bagaimana iklan membentuk practice berupa konsumsi simbolik?
Iklan adalah salah satu bentuk strategi komunikasi untuk membujuk konsumen agar mengonsumsi produk. Pada awalnya, konsumsi terhadap produk besifat material, dalam arti bahwa konsumen mengonsumsi produk karena kualitas material produk tersebut. Akan tetapi, perilaku konsumsi kemudian bergeser menjadi bersifat kultural dan kemudian simbolik yang berhubungan dengan citra dan identitas sosial serta konfirmasi atas keanggotan kelas dan kelompk sosial (Warde, 2014). Sejak akhir 1960-an, ilmu sosial yang membahas konsumsi membagi fase perkembangan konsumsi ke dalam tiga tahap dengan fokus yang distingtif. Tekananannya ada pada perubahan tiga dimensi konsumsi yaitu akuisisi, apresiasi, dan appropriasi (Warde, 2010, dalam Warde, 2014, hal. 281).
Meskipun ada proses digitalisasi, media konvensional seperti televisi masih mendominasi perebutan kue iklan di Indonesia. Saat ini, menurut Nielsen, televisi masih menguasai 86% belanja iklan, meskipun belanja iklan di media digital terus naik. Gejala ini sama dengan yang terjadi di India dimana radio dan televisi masih menjadi media utama dalam belanja iklan karena kemampuan menjangkau ke khalayak (Farooq & Latif, 2011; Fill, 2009, dalam Ramzan Sama, Journal of Creative Communications, 2019) .
Perubahan pola konsumsi menjadi lebih simbolik berhubungan erat dengan gaya hidup dan penegasan individu sebagai bagian dari kelas sosial atau kelompok sosial. Konsumen minum kopi di kedai Starbuck bukan hanya karena ingin minum kopi tetapi karena tindakan itu menegaskan dirinya sebagai bagian dari komunitas global. Logika yang saya juga terjadi pada konsumsi pada tas mewah misalnya. Konsumsi menegaskan seseorang sebagai bagian dari kelas dan kelompok sosial tertentu yang membedakan diringan dengan orang lain.
Saya berargumen bahwa dalam proses itu, iklan sangat berperan dalam produksi citra produk yang berhubungan dengan identitas kelas dan kelompok. Iklan bekerja melalui rekayasa simbolik dan simulasi yang bisa memberi makna tak terbatas pada suatu produk. Ambil contoh misalnya iklan Indomie edisi pilot. Indomie dicitrakan sebagai produk yang dikonsumsi pilot sebagai wakil dari kelas menengah. Padahal secara riil, Indomie lebih banyak dikonsumsi kelompok C dan D.
Hal yang sama juga terjadi di iklan politik dimana kontestan sering menampilkan dirinya tanpa perlu berhubungan riil dengan realitas kesehariannya, misalnya adegan Wiranto makan nasi aking untuk merepresentasikan dirinya secara simbolik sebagai bagian dari kelas bawah, atau kontestan perempuan yang tiba-tiba berjilbab pada sebelumnya tidak pernah.
Perihal simulasi yang membahas hubungan realitas dan produksi simbol ini dibahas oleh Baudrillard (1981). Salah satu poin penting dalam simulasi adalah bahwa tidak selalu ada hubungan logis antara realitas dengan produksi simbol.
Dari Ekonomisme ke Theories of Practice
Dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984), Pierre Bourdieu membuat riset terhadap 1.217 responden tentang preferensi mereka terhadap karya musik, film, teater, bahasa, dan literatur. Hasil dari penelitian itu adalah bahwa selera tidak bersifat netral dan individual, tetapi berhubungan dengan konfirmasi individu sebagai anggota dari kelas dan kelompok sosial tertentu yang berbeda dengan kelas dan kelompok sosial lainnya. Dalam musik misalnya, seseorang menonton opera bukan semata karena suka pada musik tersebut tetapi karena dengan menonton opera keanggotaannya sebagai komunitas penikmat high culture terkonfirmasi. Gejala yang sama juga terjadi pada perilaku menikmati produk kesenian lainnya. Ada juga fenomena ketika secara ekonomi seseorang tidak mampu mengonsumsi barang dan jasa yang lalu mengonsumsi barang-barang palsu. Gejala ini disebut life-styling.
Tahap pertama kajian tentang konsumsi berfokus pada sistem ekonomi dalam masa produksi dan konsumsi massa. Secara ekonomi politik, karakternya bersifat ekonomistik dimana konsumsi dianggap sub-ordinat dari produksi. Konsumsi dianggap dari konsekuensi logis dari proses produksi massal. Fenomena kultural, misalnya selera, ditentukan oleh kontrol aparatus industri, misalnya iklan, dan merupakan produk sampingan dari distribusi kekayaan yang tidak merata. Debat berpusat pada relasi antara kebutuhan dan keinginan dan keadilan distribusi akses barang dan jasa di masyarakat. Ketidakadilan terjadi ketika distribusi barang dan jasa hanya berputar pada kelas dominan saja. Konsumsi dianggap sebagai pilihan pribadi yang independen.
Perkembangan terjadi pada era 1970-an dalam ilmu sosial dan kemanusiaan. Kritik terhadap cara berpikir ekonomistik menggeser aspek instrumental dari konsumsi material ke dimensi simbolik, dan terutama kemampuannya terkait dengan komunikasi. Sarana komunikasi termasuk iklan dianggap sebagai media penting dalam produksi kultural dalam konsumsi.
Munculnya cultural studies juga merupakan salah satu menifestasi dari gejala tersebut yang memberikan stimuli bagi kajian sosiologi konsumsi di Eropa. Barang dan jasa yang diproduksi massal tidak hanya memberikan kenyamanan dan hiburan, tetapi juga memperluas pengalaman kultural, menyediakan bahan bagi perkembangan dan ekspresi pribadi, dan memperkokoh relasi sosial. Makna konsumsi bergeser dari kecemasan menuju selebrasi (Warde, 2014, hal. 280-282).
Practice theories memperbaiki bias analisis kultural yang hegemonik pada era kedua dalam kajian konsumsi. Teori practice kelihatan menjanjikan bagi studi konsumsi karena menjanjikan koreksi ganda atas kajian sebelumnya, dengan memberikan framing alternatif bagi model pilihan individual, baik yang berbasis pada kedaulatan dan ekspresi individual, dan kedua dengan membuka dan mengeksplorasi fenomena yang biasanya dibahas di analisis kultural dengan lebih mendalam (Warde, 2014, hal. 286).
Munculnya iklan sebagai instrumen produksi simbol dalam konsumsi menurut saya mulai terjadi ketika era kultural menguat di era 1970-an. Karena banjir produk, perlu upaya-upaya baru agar konsumen tetap mau mengonsumsi produk. Untuk itu kebutuhan perlu diciptakan, dikonstruksi. Di sinilah perlunya rekayasa simbolik – salah satunya melalui iklan - yang pada intinya tidak memosisikan produk sebagai realitas material saja namun juga simbolik, yang berhubungan dengan identitas, citra diri, gaya hidup, dan afirmasi keanggotaan pada kelompok sosial yang membedakannya dengan kelompok lain.
Dalam dinamika ini, masing-masing kelas mempertegas dominasinya melalui distribusi modal ekonomi dan modal kultural. Bourdieu (1984) dalam hal ini mencatat bahwa kelas dominan memiliki ruang otonom yang strukturnya didefinisikan oleh, pertama, distribusi modal ekonomi dan kultural ke para anggotanya, fraksi-fraksi dalam tiap kelas yang dicirikan oleh konfigurasi distribusi tersebut yang berhubungan dengan gaya hidup melalui mediasi habitus; kedua, distribusi kedua jenis kapital di antara fraksi ini distrukturkan secara simetris dan terbalik; ketiga, struktur aset, bersama trajectory sosial, memerintahkan habitus dan pilihan sistematis dalam area practice, di mana pilihan konsumtif dianggap sebagai estetis dan berdimensi tunggal, yang termanifestasi dalam gaya hidup (Bourdieu, 1984, hal. 260).
Referensi
Baudrilllard, Jean, Simulacra and Simulation, The University of Michigan Press, 1981
Bourdieu, Pierre, Distinction, A Social Critique to the Judgement of Taste, Routlegde, 1984
Sama, Ramzan, Journal of Creative Communications, 2019
Warde, Alan, After taste: Culture, consumption and theories of practice, Journal of Consumer Culture, 2014