oleh R Kristiawan
Beberapa iklan layanan masyarakat belakangan ini justru cenderung menghasilkan dampak yang tidak melayani masyarakat. Aa Gym mendapat protes dari beberapa kalangan karena dinilai memakai tafsir agama sebagai sumber klaim kenaikan harga BBM. Pengamat perminyakan Kurtubi pun mengaku ia tak tahu kalau harga BBM bakal dinaikkan sekaligus begitu tinggi.
Iklan layanan masyarakat (ILM) atau lebih tepat dinamakan sebagai iklan layanan pemerintah (ILP) Depkominfo itu secara umum juga menuai protes karena dianggap tidak memenuhi langkah-langkah standar produksi (Effendi Gazali, Kompas, 17/10/ 2005).
ILM Depkominfo itu tidak melayani masyarakat karena tidak lebih dari sebuah upaya komunikasi politik untuk memperkuat sebuah keputusan politik. ILM tentang kenaikan harga BBM produksi Depkominfo tidak lebih dari upaya propaganda karena sulit menemukan unsur pelayanan masyarakat dalam iklan itu. Secara pragmatis, ketika sebagian besar masyarakat menolak sebuah kebijakan, butuh upaya kreatif luar biasa untuk membuat paket komunikasi agar masyarakat menerima kebijakan itu.
Kesalahan dan kegagalan ILM Depkominfo untuk meredam gejolak kenaikan harga BBM 1 Oktober ini mengulangi kesalahan ILM Departemen Kominfo ketika harga BBM dinaikkan 1 Maret lalu, yang menampilkan pria pengendara mobil mewah, yang jelas berbau pertentangan kelas.
Contoh ILM yang berhasil
Ada beberapa ILM yang layak dijadikan contoh. ILM tentang Pekan Imunisasi Nasional (PIN) pada tahun 1996 yang diproduksi oleh Matari dan dibintangi oleh Rano Karno dan Mandra tampak jelas tidak punya pretensi politik. Di bawah produksi IndoAd, Riri Reza menyutradarai ILM Suami Siaga yang bertujuan lebih melibatkan para suami untuk menekan angka kematian kaum ibu ketika melahirkan. ILM yang dibintangi oleh penyanyi dangdut Iis Dahlia dan didanai oleh USAID lewat Johns Hopkins University Center for Communication Program (JHU-CCP) ini kuat dalam positioning sehingga sangat digemari. Ada juga ILM lain yang bagus, misalnya, soal konservasi terumbu karang oleh Coremap dan USAID/JHU-CCP.
Pada tahun 1999, untuk mendorong partisipasi publik dalam pemilu, Yayasan Visi Anak Bangsa memproduksi beberapa ILM yang didanai juga oleh USAID. Yang berhasil adalah seri Inga' Inga' yang sampai sekarang masih diingat publik.
Jika dibandingkan dengan iklan komersial, ada beberapa aspek kreatif yang membuat posisi ILM menjadi khusus. Setting yang diambil biasanya tempat berkumpul masyarakat bawah semi-urban, seperti pasar, bengkel, dan warung. Pemeran yang dipilih juga bukan gadis cantik putih kinyis-kinyis, tapi ibu rumah tangga gendut keriting layaknya rakyat kebanyakan, seperti tampak dalam ILM Inga' Inga'. Dialog diambil dari dialog keseharian. Unsur komedi dipakai sebagai pemoles untuk menarik perhatian.
Ini bukannya tanpa strategi. Karena target penontonnya adalah masyarakat luas, maka aspek representasi populer perlu dipakai lewat sebanyak mungkin simbol yang dipilih. Secara keseluruhan, sebuah ILM harus mampu merepresentasikan kognisi sosial dan harapan yang berkembang di masyarakat. Kejelian menangkap dua hal itu adalah awal yang bagus.
Pesona ILM cepat menyebar sejak keberhasilan beberapa ILM itu. Berbagai kalangan ingin melayani masyarakat dengan memproduksi ILM. Bukan hanya LSM, lembaga-lembaga negara dan perusahaan pun mulai memakai ILM untuk memperkuat legitimasi kebijakannya di mata publik. Perusahaan ingin membuktikan prinsip corporate social responsibility dengan memproduksi ILM. Lihatlah PT Freeport yang ingin menutupi masalah lewat ILM yang menunjukkan kepedulian pada orang Papua.
Lewat ILM, perusahaan ingin mengangkat citra sosialnya, sementara lembaga-lembaga negara ingin menggalang dukungan publik. Ironisnya, mereka cenderung meletakkan masalah pada masyarakat dan tidak mau menampilkan tema otokritik. Aa Gym meminta masyarakat tawakal dalam menghadapi kenaikan harga BBM tanpa peduli pada kebobrokan manajemen Pertamina. Penyambungan saluran listrik ilegal dialamatkan melulu kepada masyarakat saja.
ILM lalu menjadi bola liar yang bisa disepak siapa saja. Depkominfo menyepak bola liar itu untuk melegitimasi kenaikan harga BBM. Strateginya dengan cara menampilkan beberapa tokoh masyarakat seperti Aa Gym, pengamat minyak Kurtubi, ekonom Emil Salim dan Chatib Basri. Sosok-sosok itu diharapkan mampu menggalang dukungan publik terhadap kenaikan harga BBM. Strategi pemakaian tokoh masyarakat ini mirip strategi Freedom Institute dalam iklan dukungan kenaikan harga BBM yang menuai begitu banyak kritik.
Pertanyaan kritis kemudian tentu saja muncul. Di manakah unsur pelayanan sosialnya jika semua pihak bisa memproduksi ILM tanpa batasan isi yang jelas? Apa bedanya dengan iklan komersial yang memang berniat membujuk?
Jika kita lihat perkembangan di Indonesia, tampaknya unsur pelayanan masyarakat dalam ILM di Indonesia akan semakin tergerus oleh kepentingan ekonomi dan politik. Karena produksi dan penayangan ILM sangat mahal, bisa dipastikan hanya ada tiga pihak pembuat ILM, yaitu pemerintah, perusahaan besar, dan LSM dengan bantuan donor.
Propaganda ekonomi politik
Ada beberapa alasan mengapa ILM tergerus oleh propaganda ekonomi politik. Dari sisi produksi, jarang sekali menemukan production house yang memang punya nilai keberpihakan sosial yang dipegang sebagai prinsip kerja. Kebanyakan hanyalah para produsen pragmatis yang sekadar memenuhi order. Mekanisme persetujuan desain komunikasi tidak melewati standar prosedur misalnya uji publiktetapi dari pemesan saja, sama dengan mekanisme iklan komersial.
Masalah tentang ILM tidak sesederhana seperti yang tampak di permukaan. Sudah saatnya ada lembaga publik yang memikirkan bagaimana mengatur bola liar ILM ini.
Karena sampai saat ini tidak semua ILM benar-benar melayani kepentingan masyarakat, maka hanya ada satu anjuran pada publik, yaitu jangan buru-buru memercayai ILM.
R Kristiawan Manajer Program Yayasan SET, Pengajar di Unika Atma Jaya Jakarta
(seperti dimuat di Harian Kompas Sabtu, 22 Oktober 2005)